Sabtu, September 21


Jakarta

Tupperware kini sedang terancam mengalami kebangkrutan setelah 78 tahun beroperasi. Hal tersebut terjadi karena persaingan semakin ketat. Selain itu, perusahaan juga memiliki beban keuangan yang membengkak.

Pengajuan kebangkrutan perusahaan ini telah dilakukan hari Selasa malam (17/09/2024) dengan utang sebesar US$ 818 juta atau setara dengan Rp 12,3 triliun (kurs 15.100).

“Beberapa tahun ke belakang, kondisi keuangan perusahaan sangat dipengaruhi oleh lingkungan makroekonomi yang menantang,” kata CEO Tupperware Laurie Goldman dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Reuters, Sabtu (21/09/2024).


Tercatat dalam dokumen pengajuan kebangkrutan tersebut, Tupperware memiliki aset sebesar US$ 7,5-15 miliar. Tapi, perusahaan memiliki kewajiban yang lebih besar sekitar US$ 15-150 miliar.

Dengan kondisi keuangan yang tidak baik, kerugian yang melanda perusahaan juga meningkat akibat imbas penurunan permintaan beberapa tahun terakhir.

Sejak tahun 2023, Goldman sempat berusaha menyelamatkan kebangkrutan dengan merestrukturisasi utang dan menandatangani perjanjian dengan bank investasi Moelis & Co untuk membantu mencari alternatif strategis.

Berbagai upaya yang telah dilakukan hingga saat ini, tetap tidak menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan. Masalah likuiditas perusahaan menjadi momok perusahaan untuk kembali menjalankan bisnisnya.

Masa keemasan Tupperware sudah habis, produknya kalah saing dengan para kompetitor yang lebih murah dan ramah lingkungan.

Perusahaan kini sedang menunggu keputusan pengadilan, pihaknya berharap agar disetujui. Rencananya, jika disetujui perusahaan akan melakukan penjualan aset-asetnya secara terbuka dan transparan dalam proses kebangkrutan yang diawasi oleh pengadilan.

Asal tahu saja, ketiga pemberi pinjaman utama Tupperware ialah Alden Global Capital, Stonehill Institutional Partners dan Bank of America menentang rencana perusahaan untuk ajukan kebangkrutan.

(fdl/fdl)

Membagikan
Exit mobile version