
Jakarta –
Riset dari konsultan global Kearney menyebut 5G kini sudah memasuki era baru, yaitu saat operator sudah bisa memanfaatkan investasinya dan meraih pertumbuhan secara komersial.
Namun sayangnya, di Indonesia saat ini masih menghadapi tantangan dalam hal infrastruktur. Yaitu keterbatasan spektrum yang menghambat kemampuan perluasan layanan 5G dan mencapai adopsi yang luas.
“Indonesia memiliki kesempatan untuk melampaui pasar lain dalam hal ketersediaan spektrum. Spektrum frekuensi yang kini tersedia untuk operator telekomunikasi belum ideal untuk 5G,” kata Carlos Oliver Mosquera, partner di Kearney Singapura, dalam keterangan yang diterima detikINET, Kamis (27/3/2025).
“Namun, sudah ada diskusi tentang pelepasan 700 MHz, 2,6 GHz, dan 3,5 GHz yang lebih relevan untuk 5G. Jika regulator dapat merilis spektrum ini secara bersih, hal ini akan menjadi perubahan besar. Hal ini memungkinkan karena semua spektrum tersebut merupakan alokasi greenfield. Dengan demikian, operator dapat memperoleh spektrum berkualitas tinggi yang akan meningkatkan kapasitas dan kualitas jaringan,” tambahnya.
Adopsi 5G di Indonesia menurut Kearney hanya punya penetrasi sebesar 2% sejak 5G diluncurkan pada 2021. Hal ini disebabkan oleh jumlah stasiun pemancar, serta ketersediaan frekuensi yang terbatas.
“Indonesia juga dapat melampau pasar lain dalam hal adopsi pelanggan. Harga perangkat kini jauh lebih rendah dibandingkan ketika negara-negara lain memulai perjalanan adopsi mereka. Konsumsi data per pelanggan di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan pasar yang sejenis; misalnya, GB/pelanggan di Indonesia saat ini 40% lebih rendah daripada di Thailand,” kata Varun Arora, Managing Partner Kearney untuk Asia Tenggara.
“Dengan dukungan 5G, konsumsi data per pelanggan bisa meningkat dari 13 GB/pelanggan saat ini menjadi 42 GB/pelanggan pada 2030, lebih dari tiga kali lipat,” tambahnya.
Laporan 2025 5G Success Index oleh Kearney menunjukkan bahwa penetrasi 5G terus meningkat, dengan lebih dari 30% populasi di 10 negara kini sudah menggunakan 5G. Uni Emirat Arab dan Malaysia memimpin dengan penetrasi lebih dari 50%. Adopsi 5G secara signifikan mengungguli 4G, yang hanya mencapai 30% penetrasi di enam negara dalam lima tahun peluncurannya.
Indeks tahun ini menunjukkan bahwa penetrasi 5G meningkat, tetapi komersialisasi melambat, dengan negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Singapura yang menduduki lima besar dan penetrasi di Malaysia melebihi 50%.
Negara dengan performa penetrasi 5G yang terbaik antara lain adalah Amerika Serikat (skor 8,3), Australia (skor 7,4), Spanyol (skor 7,3), Singapura (skor 7,3), dan Finlandia (skor 7,1).
“Jika kita menggabungkan peningkatan adopsi yang lebih tinggi dengan ketersediaan spektrum berkualitas, Total Cost of Ownership (TCO) dari jaringan 5G mungkin lebih baik daripada jaringan 4G. Hal ini juga menjadi penting karena sebagian besar operator global menghadapi tantangan untuk mendapatkan imbal hasil yang baik dari investasi mereka dalam spektrum 5G,” tutup Varun.
(asj/fay)