Selasa, Juli 2

Jakarta

Jepang baru-baru ini dilanda infeksi bakteri ‘pemakan daging’ atau istilah medisnya Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS). Kasus penyakit ini telah melampaui 1.000 kasus hingga memicu puluhan kasus kematian di negara tersebut.

Bakteri ini dijuluki ‘pemakan daging’ karena dapat menghancurkan kulit, lemak, dan jaringan di sekitar otot dalam waktu singkat. Penularan STSS terjadi melalui pernapasan dan droplet atau percikan ludah maupun lendir dari pengidap.

“Sampai sekarang belum ada di Indonesia,” ungkap Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, dr Siti Nadia Tarmizi saat dihubungi detikcom, Rabu (26/6/2024).


Kasus STSS yang dilaporkan di Jepang, umumnya kasus di rumah sakit yang disebabkan bakteri streptokokus yang biasanya muncul dengan gejala faringitis atau peradangan pada tenggorokan atau faring.

Infeksi STSS bisa berakibat fatal karena pasien dapat mengalami sepsis dan gagal multiorgan. Namun, penyebabnya secara pasti masih belum diketahui karena gejala STSS biasanya ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu singkat.

Lantas, perlukah pembatasan perjalanan?

dr Nadia menyebut hingga saat ini tidak ada pembatasan perjalanan dari dan ke Jepang terkait dengan STSS.

Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait peningkatan kasus iGAS atau invasive Group A Streptococcal disease, termasuk STSS, di Eropa pada Desember 2022, tidak ada rekomendasi pembatasan perjalanan ke negara-negara yang terdampak.

Pengobatan STSS dilakukan dengan pemberian antibiotik. Hingga saat ini, belum ada vaksin khusus untuk mencegah infeksi bakteri “pemakan daging” ini.

“Yang paling penting saat ini, kebiasaan baik yang sudah terbentuk di masa pandemi COVID-19 terus dijalankan seperti cuci tangan pakai sabun dan memakai masker, sehingga meminimalisir perpindahan droplet lewat pernapasan,” kata dr Nadia, dikutip dari laman Kemenkes RI.

(suc/naf)

Membagikan
Exit mobile version