Selasa, April 29

Kuala Lumpur

Pesatnya perkembangan AI atau kecerdasan buatan tak mau dilewatkan Malaysia. Negara tetangga itu menjadi salah satu pusat data center karena perusahaan teknologi global, khususnya dari Tiongkok, berinvestasi besar dalam infrastruktur komputasi untuk mendukung AI.

Itu karena hubungan China-Malaysia stabil, biaya listrik lebih rendah, dan akses semikonduktor canggih yang tak tersedia di China karena pembatasan ekspor AS. “Perusahaan China adalah klien utama pusat data di Malaysia dan wilayah Asia Tenggara lain,” cetus Joe Gao dari IBuffett Investment Management.

Terjadi pertumbuhan pesat kapasitas data center di sana, hampir dua kali lipat dari tahun 2021 hingga 2024. Sejumlah 54 pusat data sekarang menyediakan total kapasitas 504,9 megawatt. Kapasitas ini akan meningkat signifikan terkait berdirinya area pusat data konglomerat lokal YTL Corporation, yang akan menghasilkan 605 megawatt.


“Kami tahu saat revolusi AI ini terjadi, pusat data akan benar-benar berkembang pesat. Malaysia berada dalam posisi beruntung karena punya energi, air, lahan, dan bakat manusia untuk memicu area pertumbuhan baru ini,” kata Yeoh Keong Hann, eksekutif senior YTL, kepada SCMP yang dikutip detikINET, Selasa (8/4/2025).

Malaysia disebut telah menyalip Singapura sebagai lokasi pusat data pilihan di kawasan setelah Singapura memberlakukan pembatasan tahun 2019 karena kekhawatiran penggunaan lahan, air, dan energi. Pergeseran ini menarik perusahaan China seperti Alibaba Cloud dan ByteDance, yang mendirikan pusat data di Malaysia untuk mendukung operasi di luar negeri.

Puluhan ribu perusahaan China kini menggunakan pusat data Malaysia, khususnya untuk menyimpan data yang dihasilkan oleh media sosial, e-commerce, dan sistem AI. Mengoperasikan pusat data di Malaysia sekitar 30% lebih murah daripada di Singapura.

Faktor kunci lainnya adalah akses Malaysia ke microchip rancangan AS, yang tetap legal meski ada beberapa pembatasan kuantitas. Itu memungkinkan perusahaan China terus mengembangkan AI, manufaktur cerdas, dan Internet of Things.

Namun, ketergantungan investasi China membawa risiko geopolitik. Peraturan AS yang lebih ketat dapat mengharuskan data centre mengungkap rincian kepemilikan atau membatasi Malaysia menyediakan daya komputasi untuk model AI China. Beberapa pihak juga khawatir apakah sumber daya negara tersebut dapat mendukung fasilitas ini secara berkelanjutan.

Indonesia sendiri juga sudah cukup intensif membangun data centre, terutama di Batam. Namun sudah diakui bahwa Indonesia mendapatkan saingan dari Johor, Malaysia mulai 3 tahun terakhir. Sebabnya, Singapura sudah penuh sebagai hub data center Asia Tenggara. Inilah yang tumpah dan mencari tampungan ke Batam dan Johor.

“Kenapa Johor bisa naik secepat itu? Banyak sekali insentif yang diberikan mulai pajak gratis sampai pemerintahnya menurunkan harga listrik hanya untuk menarik pemain data center,” kata CEO NeutraDC, Andreuw Thonilus Albert pada tahun silam.

Hal itulah yang harus menjadi perhatian Indonesia untuk memenangkan pasar data center. Banyak penyedia server pindah ke Johor karena lebih murah. “Ini yang harus kita cari sama-sama apa insentif yang mau kita berikan untuk Indonesia menjadi hub,” kata Andreuw.

(fyk/fay)

Membagikan
Exit mobile version