Jakarta –
Penelitian sedang dilakukan untuk memvalidasi alat skrining judi online terbaru, Online Problem Gambling Behavior Index yang dikembangkan oleh Professor Mark Griffiths dari Nothingham Trent University. Alat ini sudah digunakan di Krosia dan hasilnya baik serta relate dengan tool lama Problem Gambling Severity Index (PGSI).
Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Rumah Sakit Marzoeki Mahdi mengadakan penelitian tentang isu judol di Indonesia. Studi ini dilakukan bersama-sama dengan Ikatan Alumni Fakultas Kedoteran Universitas Trisakti.’
“Iya ini tool baru, yang dikembangkan. Jadi selama ini kan tool yang ada kebanyakan memang tool lama soal problematic gambling yang tidak spesifik tentang perilaku judi online yang bisa jadi sangat berbeda dengan judi konvensional,” kata dr Hari Nugroho ketua tim penelitian kepada detikINET, Kamis (21/11).
Alat yang sudah ada sebelumnya mengarah pada kriteria diagnosis problematic gambling (perjudian bermasalah). Nah, tool baru ini bakal lebih memotret perilaku penjudi online. Beberapa pertanyaannya memang mirip dengan tool yang ada, namun lainnya lebih spesifik.
Pada tool ini, baru terdapat 12 pertanyaan. Pertanyaan tersebut terkait perilaku taruhannya, perilaku mengisi digital wallet untuk main judolnya, hingga perilaku kompulsif.
“Seperti apakah langsung main lagi setelah menang, apakah langsung main lagi waktu kalah, juga apakah dia agresif di chat room dan sering komplain ke customer service judol kalau dia kalah,” jabar dr Hari.
Lebih lanjut, tool ini sudah dicoba di Kroasia dengan hasil yang baik. Hasilnya relate dengan tool lama (PGSI) ketika dibandingkan.
“Nah, gunanya nanti kita tahu perilaku-perilaku tersebut adalah ketika melakukan intervensi, jadi terapis bisa tepat sasaran ketika membuat rencana rawatannya. Sekalian melihat apakah memang yang main judol itu problematik judinya atau tidak, namun tidak seperti tool skrining PGSI yang ada menunjukkan level problem judinya,” lanjutnya.
Selain itu, ini juga bisa menghilangkan stigma. Sebab, orang yang judinya moderate atau merasa bisa dimoderasi juga tidak akan mau dibilang sebagai penjudi. Jikalau masalah stigma ini dapat teratasi, nantinya mereka diharapkan dapat lebih terbuka untuk menerima terapi.
(ask/rns)