Jumat, Januari 10


Jakarta

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia, Professor Azril Azhari, menjelaskan bahwa Indonesia mulai menggagas konsep wisata ramah disabilitas sejak tahun 2021. Sementara itu, dunia telah lebih dahulu mengenal istilah Accessible Tourism (AT) pada tahun 2019 melalui United Nations Tourism Organization (UNWTO) dan The ONCE Foundation.

Menurut Azril, istilah “wisata ramah disabilitas” sebenarnya kurang populer secara global karena istilah Accessible Tourism lebih lazim digunakan dan memiliki makna yang erat dengan Tourism for All. Data WHO (2023) menyebutkan bahwa 1,3 miliar orang atau sekitar 16% dari populasi dunia mengalami disabilitas signifikan.

“Artinya, aksesibilitas untuk semua fasilitas, produk, dan layanan pariwisata harus menjadi bagian utama dari setiap kebijakan pariwisata berkelanjutan,” kata Azril dalam perbincangan dengan detikTravel, Rabu (18/12/2024).


Namun, ia mengakui bahwa di Indonesia, penerapan wisata ramah disabilitas masih bersifat parsial. Hanya pada toilet, tempat parkir, atau ramp, sehingga belum menjadi satu kesatuan destinasi.

Pentingnya Sertifikasi dan Implementasi Prinsip Inklusif

Menurut Azril, sertifikasi memiliki dua jenis utama, yaitu sertifikasi usaha dan sertifikasi profesi bagi pelaku usaha. Keduanya sangat penting untuk menentukan kelayakan destinasi dan kompetensi pelaku usahanya, terutama dalam mengadopsi konsep Accessible Tourism.

Ia juga menegaskan bahwa istilah “ramah disabilitas” cenderung merepresentasikan layanan tambahan (extended services). Sebaliknya, Accessible Tourism adalah kriteria pokok yang menjadi kebutuhan mendasar bagi setiap wisatawan berkebutuhan khusus.

“Untuk mencapai pariwisata inklusif, Indonesia harus mengadopsi prinsip universal yang menjadi standar internasional. Hal ini meliputi aksesibilitas fisik seperti ramp dan lift, aksesibilitas sensorik seperti informasi berbasis suara, serta aksesibilitas kognitif yang mudah dipahami oleh penyandang disabilitas,” kata Azril.

Contoh dan Tantangan dalam Penerapan

Beberapa destinasi seperti Bali dan Yogyakarta telah mengadopsi prinsip universal design, misalnya pantai yang bisa diakses dengan kursi roda atau fasilitas di Candi. Pulau Mentawai bahkan telah menyediakan pengalaman berselancar yang dapat dinikmati oleh penyandang disabilitas.

Meski demikian, Azril menyoroti bahwa implementasinya masih terbatas.

“Kita menghadapi tantangan besar berupa kurangnya pemahaman dari pelaku usaha dan pemerintah daerah serta ketiadaan inisiator atau fasilitator yang mampu menggerakkan konsep Accessible Tourism. Padahal, peluang pasar wisata ini sangat besar, dengan dampak ekonomi yang mencapai $58,7 miliar per tahun (PR Newswire, 2020),” ungkapnya.

Pergeseran Paradigma Pariwisata dan Teknologi

Azril menegaskan bahwa pariwisata masa kini telah bergeser dari mass tourism menuju special interest tourism, termasuk Accessible Tourism. Ia juga menekankan pentingnya peran teknologi, terutama dalam mendukung aksesibilitas sensorik melalui layanan berbasis suara, visual, dan kognitif.

“Pariwisata bukan lagi tentang kuantitas, tetapi kualitas. Dengan mengintegrasikan teknologi dan melibatkan komunitas secara aktif dalam perencanaan, pembangunan, serta evaluasi, kita dapat mewujudkan Tourism for All,” kata Azril.

Pekerja Disabilitas sebagai Daya Tarik

Azril menyoroti pentingnya pengembangan destinasi yang inklusif untuk mendukung pariwisata Indonesia. Ia juga menambahkan bahwa kehadiran pekerja terampil dari kalangan disabilitas dapat menjadi daya tarik unik yang memperkaya sektor tersebut.

“Namun, tujuan utamanya tetap pada pengembangan destinasi yang mengadopsi prinsip standar universal untuk melayani wisatawan berkebutuhan khusus,” ujar Azril.

Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor Accessible Tourism di Asia Tenggara. Dengan pemahaman yang mendalam, sertifikasi yang memadai, adopsi teknologi, dan pelibatan komunitas, Indonesia dapat menciptakan destinasi inklusif yang tidak hanya berdampak secara ekonomi, tetapi juga memperkuat nilai-nilai kemanusiaan.

(fem/fem)

Membagikan
Exit mobile version