Senin, Januari 27

Jakarta

Para ilmuwan Belanda menemukan dua gunung yang jauh lebih tinggi dari Gunung Everest. Kedua gunung tersebut menunjukkan tanda-tanda usianya kemungkinan jauh lebih tua dari yang diperkirakan sebelumnya.

“Tidak seorang pun tahu apa itu, dan apakah itu hanya fenomena sementara, atau apakah mereka telah ada di sana selama jutaan atau bahkan miliaran tahun,” kata kepala peneliti Dr. Arwen Deuss, seismolog dan profesor bidang struktur dan komposisi interior Bumi di Utrecht University, dikutip dari New York Post, Minggu (26/1/2025)

Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature ini merinci, gunung tersebut 100 kali lebih tinggi dari puncak Gunung Everest yang tingginya sekitar 8.849 meter, dan jauh lebih tinggi daripada semua gunung yang ada di planet ini.


Kedua gunung super tersebut terletak sekitar di bawah permukaan Bumi di persimpangan inti planet dan mantel, area semipadat di bawah kerak Bumi. Satu terletak di bawah Afrika, dan satu lagi terletak di bawah Samudra Pasifik.

“Gunung ini juga dikelilingi ‘kuburan besar’ lempeng tektonik yang telah bergeser ke sana karena proses subduksi, yakni ketika satu lempeng tektonik menukik ke bawah lempeng lain dan tenggelam dari permukaan Bumi hingga kedalaman hampir 3.000 km,” kata Deuss.

Meskipun menjadi bagian bawah tanah yang sebenarnya, para peneliti telah mengetahui formasi tersebut sejak pergantian abad lalu berkat gelombang kejut seismik yang beriak melalui interior Bumi.

Gempa Bumi besar menyebabkan planet ini berbunyi seperti lonceng, dan akan berbunyi tidak selaras ketika menghantam objek anomali seperti benua super.

Foto: Utrecht University

Dengan mendengarkan catatan asam tektonik ini, ilmuwan Bumi dapat memetakan struktur ini, seperti dokter yang mengambil sinar X.

“Kami melihat gelombang seismik melambat di sana,” kata Dr. Deuss saat membahas bagaimana gelombang itu terjadi di pegunungan bawah tanah, yang disebut sebagai Large Low Seismic Velocity Provinces (LLSVP) karena alasan ini,” ujarnya.

Penelitian baru menemukan bahwa struktur baru tersebut tidak hanya lebih panas daripada lempeng tektonik di dekatnya, yang merupakan alasan mengapa gelombang melambat sejak awal, tetapi juga mungkin setengah miliar tahun lebih tua.

Rekan Duess, Sujania Talavera-Soza mengatakan, para ilmuwan dibuat bingung saat mempelajari apa yang disebut peredaman gelombang seismik, yang merupakan jumlah energi yang hilang oleh gelombang saat merambat melalui Bumi.

“Berlawanan dengan ekspektasi kami, kami menemukan sedikit peredaman di LLSVP, yang membuat nada terdengar sangat keras di sana. Namun, kami menemukan banyak peredaman di kuburan lempengan dingin, yang membuat nada terdengar sangat lembut,” sebutnya.

Hal ini tidak seperti mantel atas, yang diperkirakan ‘panas’ dengan gelombang yang teredam. Talavera-Soza menganalogikan fenomena ini dengan berlari di cuaca panas, dan menjelaskan, “Anda tidak hanya melambat, tetapi juga menjadi lebih lelah dibandingkan saat cuaca dingin di luar,” ujarnya.

Pada akhirnya, penelitian ini bertentangan dengan gagasan bahwa mantel Bumi tercampur dengan baik dan mengalir cepat, sementara para peneliti mengamati bahwa ada aliran yang lebih sedikit di area tersebut daripada yang umumnya diperkirakan.

(rns/rns)

Membagikan
Exit mobile version