Minggu, September 22


Jakarta

Harga tiket pesawat yang terlampau mahal di Indonesia jadi sorotan. Padahal, transportasi udara menjadi salah satu transportasi yang efisien untuk berpergian di tengah kondisi geografis Indonesia yang luas.

Sederet hal dituding jadi biang kerok mahalnya harga tiket pesawat di Indonesia. Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Budi Joyo Santoso mengatakan mahalnya harga dan kurang baiknya tata kelola distribusi avtur menjadi salah satu biang kerok utama harga tiket pesawat di Indonesia mahal.

Dalam faktor pembentukan harga avtur, pihaknya menyoroti soal formulasi perhitungan harga avtur di Indonesia. Hal itu tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 17 K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Avtur Yang Disalurkan Melalui Depot Pengisian Pesawat Udara.


Dia menilai ada beberapa perhitungan yang sudah tidak relevan dalam menentukan harga avtur. Perhitungan ini menurutnya harus ditinjau kembali. Saran ini, kata Budi sudah disampaikan ke Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan selaku pemimpin Satgas Penurunan Harga Tiket Pesawat.

“KPPU menilai dalam konstanta sebesar Rp3.581/liter tersebut, sudah terdapat beberapa komponen yang sudah tidak relevan, misalnya penggunaan acuan harga terjauh (paling mahal) bagi pengangkutan dan penyimpanan,” ujar Budi, dalam keterangan tertulis, ditulis Minggu (22/9/2024).

Sementara itu, terkait distribusi, ada Peraturan BPH MIGAS Nomor 13/P/BPH Migas/IV/2008 tentang Pengaturan dan Pengawasan atas Pelaksanaan Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak Penerbangan di Bandar Udara yang mengarah pada monopoli oleh Pertamina.

Dia menyebut dalam aturan itu pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke pasar jika tidak bekerja sama dengan Pertamina. Dengan avtur sebagai pembentuk sekitar 40% dari harga tiket, maka membuka pasar avtur akan dapat menurunkan harga bahan bakar. Pada ujungnya biaya produksi turun dan harga tiket pun bisa jadi lebih murah.

Komponen pembentuk harga yang besar lainnya adalah biaya pemeliharaan pesawat yang mencapai sekitar 15% dari harga tiket. Apalagi selama ini banyak sekali komponen suku cadang yang harus dikenai pajak berganda.

“Komponen pesawat saat ini masih didatangkan dari luar negeri, sehingga dikenakan bea masuk. Menurunkan biaya komponen juga merupakan solusi yang harus ditempuh,” kata Budi.

Penyebab Tiket Mahal Menurut Pengusaha

Sebelumnya, Juli lalu, Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) pernah memaparkan beberapa hal yang jadi biang kerok tiket pesawat mahal. Beberapa yang disebutkan KPPU juga masuk dalam catatan INACA.

Dalam catatan detikcom, Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja menilai tingginya harga tiket pesawat yang tinggi, menurut Denon terjadi karena berbagai komponen penyusun harga tiket yang tinggi. Avtur diakuinya menjadi salah satu penyusun harga yang tinggi. Denon bilang saat ini harga avtur di Indonesia lebih tinggi dibanding negara lain.

“Harga avtur saat ini lebih tinggi dibandingkan beberapa negara tetangga,” kata Denon dalam keterangannya Juli lalu.

Klaim Denon juga diamini oleh CEO Capital A Berhad (AirAsia Group), Tony Fernandes. Bos maskapai asal Malaysia itu menilai harga bahan bakar atau avtur di Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya.

“Harga bahan bakar di Indonesia jauh lebih tinggi daripada negara-negara ASEAN lainnya, sekitar 28% lebih tinggi,” kata Tony kepada wartawan di Fairmont Jakarta, Kamis (5/9/2024) yang lalu.

Menurut Tony, Indonesia harus memiliki pesaing pemasok avtur agar harga bisa lebih kompetitif. Di Malaysia, ada dua atau tiga perusahaan, sehingga harga avtur bisa jadi lebih kompetitif dan murah.

“Di sebagian besar negara, ada pilihan. Jika hanya ada satu di Indonesia, mereka dapat mengenakan biaya yang mereka inginkan. (Jadi) kompetisi diperlukan,” sebut Tony.

Selain avtur, Denon dan Tony juga satu suara soal satu hal lain yang membuat harga tiket pesawat mahal. Hal tersebut adalah pengenaan pajak yang besar dan berganda bagi maskapai.

Denon menjelaskan selama ini pengusaha maskapai dibebankan pada pajak untuk avtur hingga pajak dan bea masuk untuk pesawat dan suku cadangnya. Untuk suku cadang saja sudah dikenai bea masuk harus ditambah lagi untuk membayar PPN dan PPNBM-nya.

Kemudian, PPN juga berlaku untuk setiap tiket pesawat yang dijual ke masyarakat. Denon menilai sederet pajak berganda ini cuma dirasakan pengusaha maskapai di Indonesia saja. Ini menjadi biaya operasional yang besar dan pada akhirnya membuat harga jual tiket pun mahal.

“Dengan demikian terjadi pajak ganda. Padahal di negara lain pajak dan bea tersebut tidak ada,” kata Denon.

PPN juga diberikan pada pembelian tiket bagi masyarakat sebagai penumpang. Hal ini membuat biaya tambahan pada saat pembelian tiket dan membuat harga tiket jadi mahal.

Denon juga menyoroti adanya biaya layanan kebandarudaraan bagi penumpang (Passenger Service Charge/ PSC) yang dimasukkan dalam komponen harga tiket. Hal ini membuat harga tiket pesawat terlihat lebih tinggi. Biaya PSC sendiri tidak masuk kantong pengusaha maskapai, namun masuk ke pengelola bandara. Sifatnya seperti ‘pajak’ yang dibebankan kepada penumpang untuk pengelola bandara.

Sementara itu, Tony Fernandes juga sudah mengatakan pihaknya sudah bicara dengan Kementerian Keuangan agar pajak impor suku cadang pesawat bisa dihapuskan.

“Kita telah berbicara dengan Kementerian Keuangan selama beberapa tahun untuk menghapus pajak impor sparepart,” sebut Tony.

Simak Video: Ada Dilema di Balik Mahalnya Tiket Pesawat

[Gambas:Video 20detik]

(kil/kil)

Membagikan
Exit mobile version