Rabu, November 6


Jakarta

Pola distribusi galon guna ulang yang buruk dikatakan dapat meningkatkan pelepasan (migrasi) bahan kimia berbahaya Bisfenol A (BPA). Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Prof. Junadi Khotib mengungkapkan semakin tinggi kadar BPA pada kemasan polikarbonat, maka paparan BPA pada air minum dalam kemasan semakin tinggi.

“Memang ada penelitian tentang kinetika pelepasan BPA dari kemasan polikarbonat. Semakin tinggi kadar BPA dalam kemasan polikarbonat, BPA yang dilepaskan juga semakin tinggi,” ucap Prof. Junadi dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/7/2024).

“Hanya saja, pelepasan ini sangat tergantung pada suhu dan tingkat keasaman. Ketika dalam distribusi dan produksi, kemasan galon air minum terpapar cahaya matahari langsung sehingga suhunya meningkat, tentu di sana sangat cepat terjadi migrasi,” imbuhnya.


Prof. Junaidi meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak boleh lagi membiarkan masyarakat terus-menerus terpapar bahan kimia BPA mengingat efeknya pada kesehatan, termasuk gangguan perkembangan otak dan mental anak usia dini.

“BPOM bisa memperkecil peluang paparan risiko BPA melalui pemberian label pada kemasan makanan dan minuman. Itu bagian dari edukasi publik sekaligus bentuk perlindungan untuk masa depan anak-anak Indonesia,” tegas dia.

Prof. Junadi menyatakan bahwa paparan BPA pada tubuh berbanding lurus dengan konsentrasi BPA dalam darah dan urin.

“Sementara konsentrasi BPA dalam darah dan urin sangat erat dengan berbagai penyakit yang berkaitan dengan gangguan endokrin, termasuk perkembangan saraf dan gangguan mental pada anak-anak. Ini kenyataan yang harus kita buka bersama,” katanya.

Rekomendasi tersebut didasarkan pada hasil penelitian Gugus Peneliti Kesehatan Universitas Airlangga mengenai efek paparan BPA pada perkembangan otak dan gangguan mental anak usia dini.

“Penelitian kami sifatnya terbuka, siapa saja bisa mengakses dan yang kami dapatkan adalah evidence efek paparan BPA pada kesehatan mental dan otak anak, sesuai dengan standar keilmuan dan kesehatan,” ungkap Junadi.

“Di seluruh dunia, otoritas keamanan pangan sepakat untuk mengatur acceptable daily intake secara progresif dari awal penggunaan plastik sampai saat ini. Semua negara sudah berada pada titik pandang yang sama terkait bagaimana mengelola TDI,” tandasnya.

Prof. Junadi yakin saat ini masyarakat belum banyak yang mengetahui risiko BPA pada galon polikarbonat. Hal ini disebabkan karena label peringatan yang belum pernah ada di kemasan produk.

Padahal, lanjutnya, pelepasan (migrasi) BPA ke dalam makanan atau minuman adalah sesuatu yang jamak pada kemasan pangan dari jenis plastik polikarbonat. “Dipastikan migrasi BPA itu terjadi,” katanya.

Senada dengan Prof. Junaidi, Prof. Andri Cahyo Kumoro, Guru Besar bidang Pemrosesan Pangan Departemen Teknik Kimia Universitas Diponegoro, menyatakan bahwa produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) sering kali mengangkut galon air dengan cara yang kurang baik, sering terpapar sinar matahari langsung dan terguncang-guncang.

“Ini sangat berpotensi menjadikan BPA terlepas dengan cepat,” katanya.

Prof. Andri menambahkan masyarakat belum banyak yang mengetahui bahaya paparan BPA. Oleh karena itu, dia menyarankan pelabelan BPA pada kemasan galon sebagai langkah yang tepat untuk mendidik masyarakat.

“Saran saya, produsen beralih ke kemasan yang lebih aman dan bebas BPA,” pintanya.

Menurut data BPOM, 96,4% galon bermerek yang beredar luas di pasaran menggunakan kemasan polikarbonat, jenis plastik keras yang pembuatannya menggunakan bahan campuran BPA. Penelitian terbaru BPOM menunjukkan bahwa tingkat migrasi BPA pada galon guna ulang di fasilitas produksi, distribusi, dan peredaran sudah sangat mengkhawatirkan.

Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang mengatakan bahwa temuan baru tersebut menjadi dasar keputusan BPOM untuk mengeluarkan draf peraturan pelabelan risiko BPA pada galon polikarbonat.

Dalam draf yang saat ini menunggu pengesahan, BPOM mewajibkan produsen yang menggunakan galon polikarbonat untuk memasang label peringatan ‘Berpotensi Mengandung BPA’, kecuali mampu membuktikan sebaliknya. Draf ini juga mencantumkan masa tenggang penerapan aturan selama tiga tahun.

(prf/ega)

Membagikan
Exit mobile version