Selasa, Januari 14

Jakarta

Pagar laut yang membentang sepanjang 30,16 km di perairan Kabupaten Tangerang diklaim dibangun oleh kelompok nelayan bernama Jaringan Rakyat Pantura (JRP). Klaim tersebut muncul usai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyegel pagar laut itu karena tidak mengantongi izin dari Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

Koordinator JRP Sandi Martapraja di Tangerang mengatakan pagar laut tersebut dibangun untuk mencegah abrasi. Dia mengklaim pemagaran laut yang sedang menjadi topik pembicaraan ini memang dibangun oleh masyarakat setempat.

“Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Ini dilakukan untuk mencegah abrasi,” kata Sandi dikutip dari Antara, Senin (13/1/2025).


Menurut Sandi, pemagaran laut tersebut berfungsi seperti tanggul laut. Tanggul laut dengan struktur fisik memiliki fungsi cukup penting dalam mengantisipasi bencana.

Dia menjelaskan sejumlah manfaat tanggul laut. Pertama, mengurangi dampak gelombang besar, melindungi wilayah pesisir dari ombak tinggi yang dapat mengikis pantai dan merusak infrastruktur.

Kedua, mencegah abrasi, mencegah pengikisan tanah di wilayah pantai yang dapat merugikan ekosistem dan permukiman. Kemudian mitigasi ancaman tsunami, meskipun tidak bisa sepenuhnya menahan tsunami.

Dia menambahkan apabila kondisi tanggul laut yang baik, area sekitar pagar bambu dan di sekitarnya dapat dimanfaatkan sebagai tambak ikan. Hal ini memberikan peluang ekonomi baru dan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.

“Tambak ikan di dekat tanggul juga dapat dikelola secara berkelanjutan untuk menjaga ekosistem tetap seimbang. Tanggul-tanggul ini dibangun oleh inisiatif masyarakat setempat yang peduli terhadap ancaman kerusakan lingkungan,” terang Sandi.

Sumber Dana Bangun Pagar Laut

Sandi menerangkan sumber dana pembangunan pagar laut itu berasal dari swadaya masyarakat. Dia bilang masyarakat berpatungan untuk membangunnya.

Menurut dia, masyarakat di sebuah desa menginisiasi terlebih dahulu. Baru kemudian masyarakat di desa lain mengikuti.

“Iya (dari masyarakat setempat), patungan lah gitu kali. Ya memang kalau 30 km masyarakat (yang bangun), di dalam kepala kita, masyarakat mana mampu? Tapi coba deh, kalau kemudian itu, saatnya dibangun dengan saling bergotong-royong gitu kan, patungan dan segala macam,” kata Sandi kepada detikcom.

Kendati demikian, dia tidak bisa memastikan besaran dana setiap desa yang dikeluarkan. Untuk itu, Sandi belum bisa memperkirakan besaran dana untuk membangun pagar laut tersebut.

Dia pun menjelaskan pembangunan itu tidak hanya melibatkan nelayan di setiap desa. Namun, juga masyarakat setempat. “Mungkin tadinya satu kelompok di sebuah desa gitu. Nah masyarakat yang lain ketrigger mungkin untuk membangun objek serupa gitu. Biasanya nggak dipatok-patok (besaran dana) gitu,” jelas Sandi.

Respons KKP

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) buka suara menanggapi terkait pernyataan kelompok nelayan tersebut. Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP Suharyanto mengatakan sampai saat ini pihaknya belum menerima informasi terkait hal tersebut. Dia bilang baru mendapatkan informasi itu dari media.

Kendati demikian, saat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten meninjau lokasi untuk mencari informasi dalang di balik pembangunan itu, Suharyanto menyebut tidak menemukan informasi terkait klaim tersebut.

“Adanya ya baru-baru ini sebagaimana yg ada di media. Namun ketika Dinas KP ke lokasi dan mencari informasi mengenai siapa yang punya, tidak menemukan informasi tentang hal tersebut,” kata Suharyanto kepada detikcom.

Suharyanto menjelaskan meskipun pagar tersebut dibangun oleh masyarakat tetap harus mempunyai izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dari KKP. Hal tersebut sudah tertuang dalam undang-undang.

Dia pun menegaskan secara regulasi tidak dibenarkan menggunakan ruang laut tanpa memiliki perizinan KKPRL dari KKP. Namun, hingga saat ini pihaknya juga belum menerima pengajuan izin dari kelompok masyarakat tersebut.

“Ya, benar (butuh izin dari KKP). (Pengajuan izin JRP) Belum ada,” imbuh Suharyanto.

(acd/acd)

Membagikan
Exit mobile version