
Jakarta –
Selama jutaan tahun, Bumi mengalami periode glasial yang diikuti oleh periode yang lebih hangat. Peran penting dalam perubahan ini mungkin berasal dari gerakan orbit planet kita.
Dengan mempelajari bagaimana planet ini bergerak dan bergoyang, para peneliti merekonstruksi periode glasial secara independen selama jutaan tahun terakhir dan bahkan membuat beberapa prediksi tentang masa depan.
Gagasan bahwa ada hubungan antara orbit Bumi mengelilingi Matahari dan fluktuasi suhu global sudah ada sejak lima dekade lalu. Tetapi parameter orbital yang berperan belum jelas. Perubahan kecil pada orbit (eksentrisitas), kemiringan planet dibandingkan dengan orbit (oblikualitas), dan perubahan arah sumbu rotasi Bumi (presesi) mungkin merupakan penyebabnya. Tetapi, bagaimana hal-hal tersebut dapat dikaitkan masih belum jelas.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Science ini menjelaskan bagaimana hal itu terjadi. Oblikualitas menyebabkan variasi musim selama periode 41 ribu tahun, yang memengaruhi seberapa banyak energi total yang diperoleh garis lintang yang lebih tinggi di musim panas. Presesi mengubah puncak intensitas musim panas di garis lintang menengah hingga tinggi dengan periode 21 ribu tahun.
Kedua parameter dan interaksinya penting, tetapi perubahan akibat presesi memiliki pengaruh yang lebih kuat pada awal periode pencairan, sementara perubahan oblikualitas memengaruhi puncak periode interglasial, waktu antara dua zaman es, dan saat zaman es baru dimulai.
“Kami menemukan pola yang dapat diprediksi selama jutaan tahun terakhir untuk waktu perubahan iklim Bumi antara ‘zaman es’ glasial dan periode hangat sedang seperti saat ini, yang disebut interglasial,” kata rekan penulis Lorraine Lisiecki, seorang profesor dari University of California Santa Barbara, dalam sebuah pernyataan, dikutip dari IFL Science.
“Kami terkejut menemukan jejak yang jelas dari berbagai parameter orbital pada catatan iklim. Sulit untuk percaya bahwa pola tersebut belum pernah terlihat sebelumnya,” tambah penulis utama Stephen Barker, seorang profesor di University of Cardiff.
Tim tersebut membandingkan perubahan parameter orbit dengan periode glasial selama 900 ribu tahun terakhir. Eksentrisitas bervariasi selama siklus 100 ribu tahun (dan siklus kedua selama 400 ribu tahun). Mereka menemukan pola berulang yang konsisten dengan perubahan orbit.
“Pola yang kami temukan sangat dapat direproduksi sehingga kami dapat membuat prediksi akurat tentang kapan setiap periode interglasial dalam jutaan tahun terakhir akan terjadi dan berapa lama setiap periode akan berlangsung,” kata Barker.
“Ini penting karena menegaskan bahwa siklus perubahan iklim alami yang kita amati di Bumi selama puluhan ribu tahun sebagian besar dapat diprediksi dan tidak acak atau kacau,” jelasnya.
Pengamatan ini dapat membantu menciptakan teori terpadu tentang terjadinya periode glasial dan interglasial di Bumi, dan dapat berguna untuk memprediksi masa depan. Berdasarkan parameter orbit, jika manusia tidak mengubah iklim secara drastis, Zaman Es berikutnya akan terjadi dalam waktu sekitar 10 ribu tahun.
“Dan karena kita sekarang hidup dalam periode interglasial, yang disebut Holosen, kita juga dapat memberikan prediksi awal kapan iklim kita akan kembali ke keadaan glasial,” kata rekan penulis Chronis Tzedakis, seorang profesor di University College London.
“Namun, transisi ke kondisi glasial seperti itu dalam 10 ribu tahun mendatang sangat tidak mungkin terjadi karena emisi karbon dioksida manusia ke atmosfer telah mengalihkan iklim dari jalur alaminya, dengan dampak jangka panjang di masa mendatang,” imbuh rekan penulis Gregor Knorr dari Alfred Wegener Institute, Helmholtz Centre for Polar and Marine Research.
Tim berharap dapat membangun model dasar jangka panjang untuk iklim Bumi yang dapat digunakan bersama dengan model iklim jangka pendek yang mengamati dampak aktivitas manusia selama 150 tahun terakhir.
“Sekarang kita tahu bahwa iklim sebagian besar dapat diprediksi dalam jangka waktu yang panjang, kita sebenarnya dapat menggunakan perubahan masa lalu untuk memberi tahu kita tentang apa yang mungkin terjadi di masa depan,” kata Barker.
“Ini adalah sesuatu yang tidak dapat kita lakukan sebelumnya dengan tingkat keyakinan yang diberikan oleh analisis baru kita. Hal ini penting untuk memberikan informasi yang lebih baik mengenai keputusan yang kita buat sekarang tentang emisi gas rumah kaca, yang akan menentukan perubahan iklim di masa mendatang,” tutupnya.
(rns/agt)