Kamis, November 7


Sleman

Situasi gawat tengah dihadapi oleh Gumuk Pasir Parangtritis. Destinasi itu terancam musnah. Kini, Gumuk Pasir itu hanya tersisa 17 hektar saja.

General Manager Badan Pengelola Geopark Jogja Dihin Abrijanto menyebut Gumuk Pasir Parangtritis terancam punah karena terus mengalami penyusutan.

Dihin menyebut dari data awal pada tahun 1976, Gumuk Pasir Parangtritis tercatat seluas 417 hektar, kini gumuk pasir itu hanya tersisa 17 hektar saja.


Menyusutnya lahan gumuk pasir ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Mulai dari keberadaan jip wisata dan kendaraan ATV, permukiman, dan los usaha hingga salahnya kebijakan pengelolaan pada era dahulu berupa mengubah kawasan gumuk pasir menjadi kawasan hijau.

“Dulu tingginya itu bisa sampai 30 meter, sekarang di bawah itu. Pada tahun 1976 luasannya 417 hektare yang kita deteksi ke belakang. Hari ini tinggal 17 hektare, ada 400 hektare hilang,” jelas Dihin saat ditemui di Situs Gunung Gamping, Sleman, Senin (22/7) kemarin.

Dihin menuturkan karakter Gumuk Pasir Parangtritis sangat langka di dunia. Dia menyebut gumuk pasir jenis barchan ini juga ada di kawasan Meksiko.

Saat ini, pihaknya tengah berkoordinasi dengan instasi terkait untuk mempercepat upaya konservasi gumuk pasir. Tujuannya agar gumuk pasir tersebut tetap terawat dan tidak punah karena lahannya yang semakin menyusut.

“Sekarang kita kerja sama dengan pengelola kita sedang proses menyusun percepatan konservasi gumuk pasir karena gumuk pasir Parangtritis istimewa, karena tipe barchan hanya ada 2 di dunia, DIY dan Meksiko,” jelas dia.

Pihaknya juga menggandeng para pakar akademisi, salah satunya dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogja guna melakukan kajian atas keberadaan gumuk pasir. Selain itu juga terkait konservasi jangka panjang.

Gumuk pasir, lanjutnya, tidak sepenuhnya memerlukan penghijauan. Ini karena gumuk pasir merupakan bentukan alami di wilayah pantai selatan. Fungsinya sebagai penahan angin, abrasi hingga tsunami jika terjadi aktivitas tektonik maupun vulkanik laut.

“Dari UGM mengatakan kalau gumuk pasir didiamkan atas kondisi saat ini, maka 20 tahun lagi kita tidak punya gumuk pasir, tinggal cerita akan hilang. Hilang untuk permukiman, lalu vegetasi, dan kegiatan wisata berupa jip dan ATV,” ujarnya.

Karakter gumuk pasir memang berupa lahan yang gersang, kering dan banyak angin. Keadaan ini ditanggapi secara tidak tepat dengan adanya penanaman vegetasi. Alhasil terjadi penyusutan secara bertahap untuk setiap tahunnya.

Kondisi ini semakin diperparah dengan munculnya permukiman, dan wisata, berupa los berjualan liar, jip wisata hingga ATV. Gumuk pasir yang seharusnya alami menjadi tersingkir. Adapula beberapa titik yang mengalami pemadatan.

“Akivitas jip bisa sampai pinggir pantai itu membuat tambah padat. Tipe barchan itu terbentuk karena arah angin, kalau dibiarkan tanpa penghalang akan membentuk bulan sabit, tapi tidak akan terbentuk selama ada kendaraan lewat situ. Mau terbentuk kelindes,” katanya.

Upaya Konservasi Gumuk Pasir Parangtritis

Terkait upaya konservasi, pihaknya tetap memperhatikan kearifan yang ada. Terlebih perekonomian warga yang mengandalkan kawasan Parangtritis. Selain itu juga tidak menghilangkan vegetasi yang saat ini mendominasi kawasan gumuk pasir.

“Saat ini sudah menjadi mata pencaharian, di sana teridentifikasi ada 179 jip, di belakang itu ada ratusan orang kalau itu kepala keluarga. Itu tidak bisa kita tutup mata sehingga bertahap komunikasi pendekatannya. Relokasi jip tetap ada, tapi pindah rute,” ujarnya.

Dihin memaparkan keberadaan gumuk pasir Parangtritis tak terlepas dari konsep sumbu imajiner yang diusung Sri Sultan Hamengku Buwono I. Berupa keterkaitan antara keberadaan gumuk pasir dengan Gunung Merapi.

Secara sains, Dihin menuturkan konsep ini tak sekadar imajiner. Dalam kajian, terungkap jika material gumuk pasir berasal dari Gunung Merapi. Material erupsi terbawa aliran sungai hingga akhirnya bermuara di pantai selatan.

“Buktinya bahwa semua material gumuk pasir itu asalnya dari perut Merapi dan sampai hari ini proses geologinya masih terbentuk, masih berjalan. Sejak zaman Pangeran Mangkubumi atau Sultan HB I poros Merapi gumuk pasir selalu diuri-uri dengan labuhan Merapi dan Parangkusumo,” katanya.

——-

Artikel ini telah naik di detikJogja.

(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version