Jakarta –
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) tetap optimistis penjualan mobil di tahun 2025 nggak akan jelek-jelek amat. Bahkan, penjualan mobil diproyeksi bisa kembali ke angka 1 juta unit.
“Ya (meskipun ada) beberapa kenaikan pajak ya, kita masih harus tetap menjaga optimisme. Kalau kita nggak optimis siapa lagi yang menjaga optimisme. Ada banyak hal yang bisa kita jadikan alasan rasional bahwa kita harusnya tetap optimis bisa mencapai 1 juta (unit),” kata Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara dalam Program Evening Up CNBC Indonesia.
Pertama, kata Kukuh, karena proyeksi pertumbuhan ekonomi di Indonesia diperkirakan sekitar 5 persen. Hal itu membuat Gaikindo yakin penjualan mobil bisa tembus 1 juta unit lagi.
“Di antara negara G20, 5 persen nggak jelek-jelek amat kan. Itu cukup baik. Jadi itu menjadi salah satu alasan kita,” ujar Kukuh.
“Kemudian kalau kita melihat lagi dari datanya Gaikindo, semenjak 2013, kita itu sudah memproduksi dan menjual rata-rata setiap tahunnya 1,1-1,2 juta unit mobil. Memang sempat turun, di tahun 2020 karena pandemi, itu turunnya cukup tajam sampai tinggal 550. Namun terima kasih kerja sama dan bantuan dari pemerintah dengan mengeluarkan PPNBM DTP itu dalam waktu singkat bisa recover,” ucapnya.
Bahkan, ekspor mobil juga meningkat menjadi sekitar 500 ribuan unit. Dengan torehan itu, Kukuh optimistis industri otomotif di Indonesia akan bangkit.
“Harusnya kita menjadi salah satu pemain kuat di ASEAN dan kita itu sebenarnya-yang nggak banyak diketahui orang-kita sudah swasembada mobil roda empat atau lebih. Minimal dari 2013 bahkan sebelumnya. Karena import kita sangat sedikit,” ucapnya.
Sementara itu, di tahun 2024 penjualan mobil diperkirakan turun. Gaikindo sempat mengoreksi target penjualan dari 1,1 juta unit menjadi 850 ribu unit tahun 2024. “Mudah-mudahan tercapai, angkanya belum selesai,” katanya.
Dampak PPN 12 Persen
Industri otomotif kemungkinan akan terdampak PPN 12 persen. Sebab, pemerintah menyebutkan, PPN 12 persen dikenakan untuk barang yang tergolong mewah yang sebelumnya dikenakan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Hampir semua mobil dikenakan PPnBM.
“Kemudian PPN yang 12 persen, untuk kendaraan-kendaraan yang harganya di bawah 300 juta itu banyak peminatnya, yang di atas itu ya mereka lain lagi kelasnya. Tapi dengan naiknya PPN 12 persen kalau dijatuhkan kemudian mereka kan belinya kredit, harusnya tidak terlalu berpengaruh,” kata Kukuh .
Sebab, menurut Kukuh, mayoritas pembeli mobil di Indonesia menggunakan skema kredit. Jadi kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen seharusnya tidak terasa dengan skema kredit.
Kekhawatiran Soal Opsen Pajak
Meski begitu, bukan kenaikan PPN yang membuat industri otomotif ketar-ketir. Kebijakan seperti opsen dan momen awal tahun 2025 ini yang kemungkinan bikin penjualan mobil lebih berat.
“Mungkin kuartal pertama Januari, Februari, mungkin agak berat. Karena di bulan Februari itu ada puasa, kemudian ada lebaran. Itu juga biasanya penjualan akan menurun. Namun setelah itu harapan kita adalah semuanya akan membaik, kondisi ekonomi membaik dan sebagainya,” ujar Kukuh.
“Yang paling berat itu bukan PPN yang 12 persen ya, tapi yang berat adalah opsen,” sambungnya.
Sebab, dengan adanya opsen bea balik nama dan pajak kendaraan bermotor, harga mobil bakal naik. Hal itu dikhawatirkan dapat membuat penjualan kendaraan turun.
“Kita juga berdiskusi, kita sampaikan pemikiran-pemikiran kita dengan kenaikan opsen. Karena kenaikan opsen itu cukup tinggi. Dan beberapa daerah sudah punya pengalaman, dengan menaikkan BBNKB dan PKB itu berdampak pada penurunan penjualan kendaraan bermotor,” kata Kukuh.
Padahal, lanjut Kukuh, di kebanyakan provinsi pendapatan asli daerah (PAD) dari kendaraan bermotor cukup besar, antara 40 sampai 80 persen.
“Kalau ini (PKB dan BBNKB) dinaikkan (dengan adanya opsen), itu kemudian penjualan (kendaraan) yang menurun, artinya Pemda akan kekurangan atau mengalami penurunan revenue. Itu yang kita sampaikan,” ujar Kukuh.
(rgr/dry)