Kamis, Desember 12

Singapura

Elon Musk memberikan peringatan besar bagi Singapura, bahwa negara tetangga itu terancam punah. Nakhoda Tesla dan SpaceX itu memang perhatian pada turunnya angka kelahiran di berbagai negara.

Jadi, Total Fertility Rate (TFR) Singapura menurun ke titik terendah sepanjang sejarah yaitu 0,97 tahun lalu, penurunan pertama di bawah 1,0. Krisis fertilitas tidak terbatas di Singapura karena tren serupa terlihat di Korea Selatan, Jepang, Hong Kong, China, dan juga India.

Singapura mengukur TFR sebagai jumlah rata-rata anak yang diharapkan dimiliki seorang wanita dalam hidupnya. Data resmi mengungkap TFR di sana skornya 0,97 tahun 2023, turun dari 1,04 tahun 2022, jauh di bawah angka penggantian 2,1 yang dibutuhkan untuk stabilitas populasi.


“Pertumbuhan populasi penduduk yang melambat dan penuaan populasi kita akan menyebabkan kendala tenaga kerja dalam jangka menengah,” sebut Kementerian Tenaga Kerja Singapura yang dikutip detikINET dari First Post.

“Pada saat yang sama, kami perlu tetap terbuka terhadap pekerja asing dan investasi asing langsung untuk terus menghasilkan peluang kerja yang baik bagi warga Singapura,” tambah mereka.

PBB memproyeksi 24% populasi Singapura akan jadi warga senior pada tahun 2030, menempatkan negara itu pada jalur menjadi “masyarakat super-tua” mirip dengan Jepang. Tingkat kelahiran Singapura termasuk terendah di dunia, dengan Korea Selatan melaporkan TFR lebih rendah lagi yaitu 0,72 pada tahun 2023.

Singapura menghadapi tantangan demografis ganda dari tingkat kesuburan yang menurun dan populasi menua. Menanggapi postingan yang membahas ‘krisis bayi’ di Singapura dan kemungkinan peran robotika dalam mengatasinya, Elon Musk menulis di X: “Singapura (dan banyak negara lain) akan punah.”

Apa penyebabnya? Indranee Rajah, Second Minister for Finance, menyebut pandemi Covid-19 mengganggu rencana pernikahan dan jadi orang tua bagi banyak pasangan. “Yang lain menyebut kekhawatiran biaya finansial membesarkan anak, tekanan jadi orang tua yang baik, atau kesulitan mengelola pekerjaan dan komitmen keluarga,” paparnya.

Indranee juga menyebut pergeseran prioritas, dengan kaum muda makin memandang pernikahan dan menjadi orang tua sebagai tujuan hidup kurang penting. Ia memperingatkan bahwa implikasi dari penurunan TFR serius, misalnya lebih banyak pasangan sekarang bertanggung jawab untuk merawat orang tua yang menua.

“Dengan lebih sedikit kelahiran, kita akan menghadapi penyusutan tenaga kerja. Akan makin sulit mempertahankan dinamisme kita, menarik bisnis global, dan menciptakan peluang bagi generasi berikutnya,” katanya. Indranee membandingkannya dengan Korea Selatan dan Italia, di mana tren serupa memicu perlambatan ekonomi, penurunan upah, dan tantangan demografi.

Data pemerintah menunjukkan bahwa lebih banyak wanita berusia 25-34 tahun memilih untuk tetap melajang. Lebih jauh, tingkat kesuburan perkawinan di antara wanita berusia 20-an telah menurun, berkontribusi terhadap 32% dari keseluruhan penurunan TFR.

(fyk/rns)

Membagikan
Exit mobile version