Minggu, Maret 30


Mojokerto

Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari ternyata pernah dipenjara di Mojokerto. Begini penampakan di dalam selnya:

Pahlawan Nasional sekaligus pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng Jombang itu rela ditahan di dalam penjara dan disiksa oleh tentara kolonial Jepang demi mempertahankan akidah Islam.

Mbah Hasyim dipenjara di kamar nomor 2, blok tahanan Lapas Kelas IIB Mojokerto. Sampai sekarang, kamar sel penjara itu masih ada dan dipertahankan bentuknya.


Kepala Lapas Mojokerto Rudi Kristiawan, menjelaskan pihaknya sengaja menjaga sel nomor 2 ini menjadi tempat yang bersejarah. Sebab di sel ini lah Mbah Hasyim pernah ditahan oleh tentara kolonial Jepang.

“Sebagai penghormatan kami kepada beliau sebagai tokoh dan pahlawan nasional pendiri NU. Seperti kata Bung Karno, jasmerah, jangan melupakan sejarah,” terangnya kepada wartawan di lokasi, Sabtu (22/3/2025).

Tapak Tilas Sel KH Hasyim Asy’ari di Mojokerto Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim

Dari luar, kamar nomor 2 di blok tahanan Lapas Kelas IIB Mojokerto ini berbeda dengan sel lainnya. Sebab terdapat lambang NU pada sisi kanan dan kiri pada atas pintu sel.

‘Kapasitas 5 Orang’ terukir persis di atas pintunya. Namun pada kenyataannya kamar ini dihuni oleh 13 orang tahanan.

Begitu memasukinya, ciri khas bangunan bikinan Belanda sangat jelas, dindingnya tebal dan jendelanya besar. Kamar berukuran 5×4 meter setinggi 5,5 meter ini dilengkapi 2 ventilasi udara dan teralis besi yang masih kokoh.

Mayoritas bangunan sel ini tetap sama sejak dibangun pada zaman penjajahan. Kecuali lantai keramik putih, toilet di sebelah kiri pintu, warna dinding, serta perkakas di dalamnya.

Kehadiran KH Hasyim Asy’ari atau Mbah Hasyim begitu terasa di dalamnya. Sejumlah foto kakek KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dipajang rapi di tembok. Beberapa kitab suci Al-Qur’an juga tertata rapi di rak.

Bahkan, warna dinding dipertahankan hijau karena identik dengan warna Nahdlatul Ulama (NU), organisasi masyarakat terbesar di Indonesia.

Kisah Penahanan KH Hasyim Asy’ari

Rudi menjelaskan, Mbah Hasyim ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh tentara kolonial Jepang karena menolak seikerei. Yaitu ritual membungkuk ke matahari saat terbit sebagai penyembahan ke Dewa Matahari atau Amaterasu, serta penghormatan kepada Hirohito, Kaisar Jepang zaman itu.

Tentu saja pendiri Ponpes Tebuireng ini tegas menolaknya karena bertentangan dengan akidah Islam. Awalnya, Mbah Hasyim ditahan di Lapas Jombang pada minggu kedua Maret 1942.

Namun gelombang unjuk rasa para santri membuat penahanannya dipindahkan ke Pendjara Poerwotengah yang kini menjadi Lapas Kelas IIB Mojokerto di Jalan Taman Siswa, Kota Mojokerto pada 11 April 1942.

Selama di Pendjara Poerwotengah, Mbah Hasyim ditempatkan di sel nomor 2. Ia mengalami penyiksaan yang pedih. Jemarinya dihantam palu berulang kali oleh serdadu Nippon. Meski begitu, ia tetap teguh pada akidahnya. Bahkan, ia berulang kali khatam Al-Qur’an dan Hadist Imam Bukhari.

“Almarhum KH Hasyim Asy’ari ditahan di sini selama 4 bulan. Keteguhan dan kekuatan spiritualnya mengalahkan rasa sakit penyiksaan tentara Jepang,” jelasnya.

Tentara kolonial Jepang lantas memindahkan Mbah Hasyim ke Penjara Kloben atau Bubutan di Surabaya pada 18 Agustus 1942. Sekitar 3 bulan kemudian, ia dibebaskan berkat diplomasi para kiai besar, serta perjuangan para santri dan pahlawan zaman itu. Salah satunya peran KH Abdul Wahab Chasbullah, pendiri NU dan Ponpes Tambakberas, Jombang.

Pemerhati sejarah Mojokerto, Ayuhanafiq menuturkan Mbah Hasyim tiba di Pendjara Poerwotengah pada 11 April 1942 menjelang magrib. Santri Mbah Hasyim, Mansyur Solikhi menyaksikan langsung pemindahan ulama besar Indonesia ini.

Sebab kala itu, Mansyur juga ditahan tentara Jepang di sel nomor 1 yang bersebelahan dengan sel Mbah Hasyim. Santri Ponpes Tebuireng ini ditahan sejak Maret 1942 karena terlibat rayahan, yaitu menjarah harta milik orang Belanda pada masa transisi penjajahan.

Selama di Pendjara Poerwotengah, Mansyur akrab dengan Abdoel Djalil, sipir kenalan ayahnya. Sehingga ia mudah mendapatkan kiriman makanan dari orang tuanya. Termasuk selimut untuk mengurangi dinginnya lantai penjara. Kala itu, ia merelakan selimutnya untuk sang guru.

“Saat Mbah Hasyim sudah masuk ke sel tahanan, Mansyur Solikhi memanggil Djalil yang baru selesai memeriksa tiap ruangan. Ia menyerehkan selimutnya kepada Djalil agar diberikan kepada Mbah Hasyim,” ungkapnya.

——-

Artikel ini telah naik di detikJatim.

(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version