Jumat, Oktober 25


Subang

Sebuah desa di Subang jadi saksi betapa ganasnya abrasi laut Jawa. Para warga di desa itu seperti sedang berpacu dengan waktu.

Warga Desa Mayangan di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang was-was sepanjang waktu. Air laut perlahan-lahan melahap daratan tempat mereka berpijak setiap detiknya.

Banjir rob dan abrasi terus mengikis daratan di tepian Laut Jawa itu bak kisah ‘Atlantis’. Durasid (60), warga Mayangan duduk di atas dipan seraya memperhatikan lalu lalang orang yang lewat di depan kios ikan asin beratap asbes miliknya.


Dengan memakai kaos berwarna kuning tanpa lengan, ia menyeruput segelas minuman dingin untuk meredam terik matahari yang menyengat di kawasan Pantura.

Pikiran Durasid menerawang ke dua dekade lalu saat menunjukkan lorong dengan pemandangan laut lepas di belakang kiosnya. Dahulu tambak-tambak ikan dan udang terhampar dan menjadi mata pencaharian bagi warga setempat.

Tetapi semua itu lenyap tanpa jejak karena termakan lautan. Durasid menyebut, air mendadak pasang secara tak wajar di siang hari tak lama sekitar tahun 2006.

“Tahu-tahu air sudah selutut. Memang peristiwanya tidak lama, karena hanya berlangsung selama beberapa menit saja,” ujar Durasid.

Semenjak peristiwa itu, air pasang lebih sering naik ke permukaan. Tak hanya melibas tambak dan permukiman warga, namun kerap naik ke jalur perlintasan warga. Rob yang berkepanjangan terjadi dan tak pernah surut lagi.

Durasid yang memiliki rumah yang lokasinya selemparan batu dari Laut Jawa itu pun harus meninggikan fondasi rumahnya agar tak terendam.

Potret Desa Mayangan yang berpacu lawan abrasi Foto: Wisma Putra/detikJabar

“Ya ini ditinggikan. Cuma di rumah saya ini tak hanya tergenang air, tapi tanahnya juga ambles,” katanya seraya menunjukkan bekas dinding rumahnya yang ditinggikan.

Kendati demikian, Durasid dan keluarganya yang sehari-hari mengandalkan pemasukan dari berjualan ikan memilih untuk bertahan di Mayangan. Walau ancamannya besar, Durasid mengaku Laut Jawa memiliki kekayaan bahari yang melimpah.

“Keluarga enggak ada yang pergi. Pencaharian di sini, bertahan, ya walau mencari uang seribu atau dua ribu. Orang sini banyak yang punya perahu masing-masing,” kata Durasid.

Desa Mayangan terkenal karena memiliki objek wisata Pantai Pondokbali, yang populer dan menarik minta berwisata warga di wilayah Pantura Subang. Lokasi pantai ini kurang lebih 10 kilometer dari Jalan Raya Pamanukan. Namun karena adanya air pasang, kadang sebagian jalan tergenang di waktu petang.

Usai berbincang dengan Durasid, Tim detikJabar berjalan menyusuri Jalan Pondok Bali. Banyak halaman rumah warga terlihat basah, bahkan tergenang oleh air laut.

Tak sedikit rumah warga yang ditinggalkan dan terbengkalai begitu saja. Bahkan pada pagi hari ada ubur-ubur yang berenang di halaman rumah warga.

Sejumlah warga menyiagakan pompa air di halaman rumah mereka, yang digunakan untuk mengeluarkan air laut. Tampak beberapa rumah juga terpasang plang dijual, dan bahkan ada hotel yang pembangunannya terbengkalai begitu saja.

Tokoh Desa Mayangan, Ncay Caswita mengatakan, kini air masuk ke dalam rumah-rumah warga. Ketinggian air yang masuk bisa mencapai setengah meteran.

“Sebelumnya tidak pernah kejadian. Kalau sekarang ada air besar rob, air masuk tuh bisa masuk ke rumah-rumah warga,” tutur Ncay.

Begitu pun dengan tambak ikan yang juga ludes disapu lautan. Kini yang tersisa hanyalah pepohonan mangrove berusia belasan hingga puluhan tahun, di areal bekas tambak.

Semua Daratan Habis Tenggelam Ditelan Laut

Berdasarkan catatan Pemerintah Desa Mayangan, secara administratif desa yang berada di Teluk Ciasem itu memiliki luas kurang lebih 502 hektare. Tujuh puluh persen diantaranya telah terendam air laut, menyisakan kurang lebih 100 hektare daratan.

Kepala Desa Mayangan Darto mengatakan, di desanya ada empat RT yang terdampak kenaikan permukaan air laut terparah. Dua RT di dulunya bahkan berupa persawahan, namun karena air semakin naik akhirnya diubah warga menjadi tambak, yang kini sudah tak ada jejaknya lagi karena terendam air laut.

Air laut juga menyusup ke rumah-rumah warga, ia menyebut lebih 300 kepala keluarga (KK) terimbas rob dan abrasi secara langsung.

Abrasi di Desa Mayangan Foto: Yudha Maulana

Mereka yang beruntung pindah ke dataran yang lebih tinggi, ada yang juga yang bertahan tetapi meninggikan rumah mereka, namun ada juga yang pasrah rumahnya terendam bak ‘Atlantis’.

“Hampir semuanya menjadi nelayan, karena tambak terendam dan kita juga jadi tidak punya sawah,” ucap Darto.

Darto juga pernah berkonsultasi dengan Pemkab Subang terkait, pencegahan abrasi di Mayangan, namun ternyata membutuhkan modal yang sangat besar.

“Kami dapat fenomena rob yang tak ada surutnya, jadi si tambak-tambak kami terendam, tanggul lempes, hancur karena rob tak pernah surut dan masuk ke rumah-rumah warga,” katanya.

Keresahan warga Desa Mayangan akhirnya mendapatkan atensi dari berbagai pihak. Salah satunya Wanadri, yang membuat konsep Wali Mangrove dan mendorong terbentuknya Tim Siaga Pesisir Utara (SIPUT), yang berisi anak-anak muda.

Mendirikan Rumah Edukasi Mangrove

Wanadri dengan kolaborasi berbagai pihak juga mendirikan Rumah Edukasi Mangrove yang berperan sentral dalam membina warga terkait mangrove dan mengontrol kondisi hutan mangrove di pesisir Mayangan.

“Wanadri dan teman-teman dari Wanadri menggagas untuk menghijaukan kembali dengan gerakan-gerakan yang bisa dibilang kolaboratif. Karena Wanadri tidak bisa sendiri di sini. Terus di sini juga di Mayangan adalah tempat medan latihannya Wanadri, dimana punya beban moral, punya pesan untuk memang tempat medan latihan yang harus terjaga dan terlindungi,” ujar Wali Mangrove Field Manager, Mansyur di Rumah Edukasi Mangrove.

Saat ini Wanadri membuat proyek penyelamatan daratan pesisir di Subang Utara, termasuk di Desa Mayangan, Tegalurung dan Legonwetan.

Rumah Edukasi Mangrove di Desa Mayangan, Legonkulon, Subang Foto: Wisma Putra/detikJabar

Menariknya, bibit mangrove yang ditanam berasal dari warga bibit yang dibudidayakan oleh warga. Tujuannya agar warga bisa semangat dalam memahami dan melestarikan mangrove untuk penyelamatan lingkungan.

Inisiasi yang dilakukan Wanadri rupanya mendapatkan respons dari berbagai pihak untuk menyalurkan bantuan, salah satunya Eiger yang menanam 10 ribu pohon mangrove. Beragam event pun dilakukan untuk memancing kesadaran warga akan keadaannya, salah satunya dengan pemutaran film ‘Matra Pantura’.

“Mudah-mudahan dengan adanya gerakan semua dari pentahelix ini, kolaboratif, masyarakat, warga, kemudian kepala desa, kemudian dari pemerintah dan media, tim media, dan dari pengusaha yang memang berkontribusi semua. Mudah-mudahan 10 tahun kemudian untuk kondisi Mayangan akan pulih dan menjadi pemukiman yang asli atau yang lebat, yang hijau,” ujar Mansyur.

Menanam mangrove tidak mudah di tengah kondisi Mayangan saat ini. Warga tidak bisa hanya menanam propagul mangrove karena airnya besar.

“Kalau dulu menanam tidak pakai polybag, tapi pakai propagul saja. Kalau sekarang harus pakai propagul, karena airnya dalam. Kalau propagul kena air pasang nanti jadi ada lukutnya, masuk lukut ke pucuk itu nanti mati mangrovenya enggak bisa tumbuh,” ucap Ncay.

Penanaman mangrove, tidak hanya bisa dilakukan sekali lalu ditinggalkan. Tetapi perlu dipantau perkembangannya, dan kemudian ditanam sulam untuk semakin menguatkan. Kendati begitu, Ncay dan warga Mayangan tak akan menyerah untuk terus melestarikan mangrove di Mayangan.

“Kalau hutan tidak dilestarikan oleh kita kemungkinan nanti habis,” tutur Ncay.

——-

Artikel ini telah naik di detikJabar.

(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version