Jumat, April 18


Jakarta

Okupansi hotel berbintang di Indonesia di awal tahun masih rendah di bawah 50 persen. Begitu pula saat libur lebaran.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Penghunian Kamar (TPK) pada hotel klasifikasi bintang sebesar 48,38% pada Januari 2025. Angka itu mengalami penurunan sebesar 9,68% dibandingkan bulan sebelumnya.

“TPK Januari 2025 mencapai 48,38% atau mengalami penurunan secara bulanan sebesar 9,68%. Namun mengalami peningkatan secara tahunan sebesar 1,66%,” kata Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah di akun YouTube BPS.


Sementara TPK hotel klasifikasi hotel bintang Februari 2025 tercatat 47,21%. Angka itu juga mengalami penurunan baik secara bulanan dan secara tahunan masing-masing sebesar 1,17% dan 2,24%.

BPS mencatat terdapat 20 provinsi yang mengalami penurunan TPK hotel klasifikasi bintang pada Januari-Februari 2025. Sementara sisanya sebanyak 18 provinsi yang mengalami peningkatan.

TPK hotel klasifikasi bintang tertinggi pada Februari 2025 tercatat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 59,07%. “Hal ini didorong banyaknya acara yang diselenggarakan di Jakarta, seperti konser dan pameran sepanjang tahun Februari 2025,” ujar dia.

Penurunan tingkat okupansi hotel juga terjadi di Bali. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Agus Gede Hendrayana Hermawan menyebut penurunan tingkat penghunian kamar (TPK) alias okupansi hotel di Bali yang makin anjlok bakal menimbulkan efek domino besar. Sebab, perekonomian Bali selama ini dimotori oleh pariwisata.

“Di dalamnya ada akomodasi dan konsumsi. Kalau itu terganggu efek dominonya besar, termasuk ketenagakerjaan. Tapi, mudah-mudahan engga (terjadi), kan itu trennya memang Februari turun, lalu di Maret naik lagi dan high season itu naik,” ujar Agus dikutip dari detikBali.

Kondisi serupa berlanjut pada Februari. BPS mencatat TPK hotel pada Februari 2025 sebesar 51,62 persen. Secara bulan ke bulan atau Februari 2025 dibandingkan Januari 2025 terjadi penurunan sebesar 8,66 persen.

Penurunan juga terjadi secara tahun ke tahun atau Februari 2025 dibandingkan Februari 2024, yaitu 3,65 persen. Agus mengatakan TPK hotel bintang tertinggi terjadi di hotel bintang satu sebesar 58,67 persen.

“TPK hotel bintang terendah, yaitu hotel bintang lima sebesar 48,59 persen,” ujar dia.

Kemudian, TPK hotel nonbintang Bali pada Februari 2025 tercatat 36,35 persen. Angka ini naik 0,73 persen dibandingkan Januari 2025. Sementara jika dibandingkan dengan Februari 2024 mengalami penurunan 4,56 persen.

“Pada Februari 2025 rata-rata lama menginap tamu di hotel bintang 2,67 malam. Secara bulan ke bulan atau Februari 2025 dibandingkan Januari 2025 turun 0,24 poin. Sementara apabila dibandingkan dengan Februari 2024 naik 0,05 poin,” jelasnya.

Bagaimana okupansi hotel saat libur lebaran?

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, mengatakan tingkat okupansi atau keterisian kamar hotel di berbagai daerah selama libur Lebaran 2025 turun cukup dalam jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan rata-rata sekitar 20%.

“Seperti diduga, (okupansi) lebih rendah dari tahun lalu ya. Tadi saya sempat telepon beberapa daerah. Solo, Jogja, Bali. Itu yang saya sempat cek ya. Memang turun. Turun rata-rata sekitar 20% dari tahun lalu,” kata Hariyadi saat ditemui wartawan seusai mengikuti open house di Rumah Dinas Menteri Investasi dan Hilirisasi, Rosan Roeslani, Selasa (1/4).

Padahal, periode libur Lebaran merupakan salah satu peak season alias momen puncak bagi sektor perhotelan, khususnya di luar Jakarta. Di luar momen itu, biasanya tingkat okupansi hotel jauh lebih rendah.

Sebagai contoh, tingkat okupansi hotel di Yogyakarta saat hari biasa hanya sekitar 40%. Namun, saat musim libur Lebaran harusnya bisa meningkatkan hingga 85%.

“Kalau libur Lebaran ini kan dia booster sebetulnya. Karena orang sudah pakai THR kan. Nah, kalau bulan biasa, itu kemungkinan lebih jelek lagi,” kata Hariyadi.

Selain tingkat okupasi, durasi menginap di hotel juga melemah pada Lebaran 2025. Kondisi itu terlihat dari waktu reservasi atau penyewaan kamar hotel yang tidak sampai akhir libur Lebaran.

“Waktu liburnya juga nggak sampai selesai. Nggak sampai tanggal 7 (April) gitu ya. Kayak di Solo tanggal 4- 5 langsung sudah check out. Di Yogyakarta tanggal 6, Bali itu juga menurun juga ya. Bali itu juga nggak full sampai tanggal 7. Jadi secara umum sih turun, secara nasional,” ujar Hariyadi.

Hariyadi berpendapat pelemahan usaha sektor perhotelan tahun ini menurun drastis imbas pelemahan daya beli masyarakat. Sehingga, masyarakat yang pulang kampung mengurangi belanja dengan tidak menginap atau mengurangi waktu berlibur di hotel.

“Mungkin daya beli ya. Daya belinya memang kayaknya sih bermasalah,” ujar Hariyadi.

Selain persoalan okupansi yang menurun, sejumlah hotel bahkan berhenti beroperasi setelah terdampak efisiensi dan pemangkasan anggaran pemerintah. Di antaranya, dua hoteld i Bogor; Sahira Hotel Paledang dan Sahira Hotel Pakuan. Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana belum merespons tentang okupansi hotel yang menurun sejak awal tahun ini.

detikTravel juga punya berita menarik lainnya yang bisa kamu baca kembali.

(sym/sym)

Membagikan
Exit mobile version