Seoul –
Pornografi deepfake sedang mewabah di Korea Selatan dan membuat kaum perempuan di sana ketakutan. Para pelaku mengubah wajah korban dengan badan berbeda dan bernuansa seksual, seringkali dengan bantuan teknologi AI atau kecerdasan buatan.
Gara-gara kasus ini, banyak wanita di sana menghapus foto selfie dari media sosial Instagram atau Facebook lantaran cemas akan menjadi korban selanjutnya.
“Rasanya seperti apa yang seharusnya tempat teraman bagi kami, bagi rutinitas kami, telah tercemar,” kata seorang wanita berusia 27 tahun bernama Lee, seperti dikutip detikINET dari Korea Times, Kamis (4/9/2024).
Seorang fotografer, yang minta identitasnya dirahasiakan, mengatakan akan menghentikan sementara pengunggahan foto yang menampilkan wajah model karena kekhawatiran tentang kejahatan deepfake.
Kasus ini mencuat setelah seorang lulusan Seoul National University diduga berkonspirasi dengan 3 pria lainnya untuk menciptakan foto dan video cabul para korban, lalu membagikannya ke Telegram. Sebanyak 61 korbannya sejauh ini teridentifikasi.
Kasus pornografi deepfake lainnya pun bermunculan. Sebuah channel Telegram dilaporkan punya lebih dari 200 ribu anggota, lengkap dengan program yang bisa membuat foto telanjang rekayasa dan pelakunya meminta agar para anggota memposting orang yang mereka kenal.
Bang Sang hoon, pakar kepolisian dari Woosuk University, menyebut para pelaku kejahatan semacam itu didorong oleh sifat inferior dan terkadang berniat untuk melecehkan atau balas dendam, tapi tidak secara fisik.
“Penghinaan zaman dulu misalnya jika anak menambahkan gambar kumis pada foto seseorang atau di album kelulusan. Bedanya sekarang, dengan adanya Telegram yang luas dipakai anak muda serta ada AI, terjadi kerusakan di seluruh negara,” katanya.
“Teknologi deepfake membuat sukar membedakan apakah sesuatu direkayasa atau sungguhan dan kebingungan ini membuatnya semakin berbahaya,” tambah dia.
Menurut kepolisian Korsel, sebanyak 297 kasus kriminal deepfake bernuansa seks dilaporkan dalam 7 bulan pertama 2024, naik dari angka 180 tahun lalu dan dua kali lipat tahun 2021. Dari 178 pelaku, 113 di antaranya adalah remaja.
Kim Su-jeong, direktur Pusat Konseling Hak Asasi Manusia Perempuan, mengatakan pemerintah harus mengedukasi para pelaku bahwa tindakan mereka salah dan tidak dapat ditoleransi, daripada menyuruh para korban menghapus foto mereka.
“Kekerasan berulang terhadap perempuan di negara ini adalah akibat dari kegagalan negara mendengarkan berbagai seruan di masa lalu untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap masalah ini, hukuman lemah bagi pelaku, dan kurangnya kesadaran bahwa tindakan itu adalah kejahatan,” ujarnya.
(fyk/fay)