Jumat, Oktober 11


Jakarta

Mungkin nama Darien Gap masih asing di telinga traveler. Daratan itu tidak memiliki otoritas negara dan keadaannya sangat berbahaya.

Benua Amerika terbagi menjadi tiga, Amerika Utara, Amerika Tengah dan Amerika Selatan atau Latin. Di antara Panama dan Kolombia ada sebuah daratan yang sangat berbahaya bagi manusia, Darien Gap.

Dikutip dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Kamis (10/10/2024), Darien Gap adalah hamparan hutan hujan tropis tanpa jalan sepanjang 96 km.


Hutan itu ditutupi oleh pepohonan yang rapat, pegunungan terjal, rawa-rawa berlumpur, sungai berkelok, satwa liar, serta kelembapan dan curah hujan yang sangat tinggi. Ini membuat lanskap Darien Gap tidak bersahabat dan sulit diawasi.

Alasan itu pula yang membuat Darien Gap terkenal sebagai hutan yang tak dapat ditembus. Daratan ini memang jadi satu-satunya jalan darat yang menghubungkan Amerika Selatan dan Amerika Tengah.

Meski begitu, ada saja yang nekat untuk menembus Darien Gap. Mereka adalah pencari suaka.

Satu dekade lalu, hanya beberapa ribu orang yang berani menyeberang setiap tahun. Pada tahun 2021, terdapat ‘kemacetan’ di sana, ada 133.653 migran yang melakukan perjalanan karena masalah ekonomi, pergolakan politik, kekerasan dan perubahan iklim. Mereka berbaris seakan melakukan antrean untuk melewati daratan itu.

Angka ini terus berlipat ganda setiap tahunnya, melonjak menjadi 248.284 pada tahun 2022 dan mencatatkan rekor 520.085 migran pada tahun 2023, yang artinye lebih dari 40 kali lipat rata-rata tahunan antara tahun 2010 dan 2020.

Menurut UNICEF, satu dari lima migran ini adalah anak-anak dan satu dari sepuluh berusia di bawah lima tahun. Pada tahun 2023, sekitar 84 persen dari mereka yang menyeberang berasal dari Venezuela, Haiti, dan Ekuador, di mana kombinasi bencana dari keruntuhan ekonomi, disfungsi politik, dan kejahatan kekerasan telah memaksa ribuan keluarga untuk mengungsi.

Mereka yang berhasil menyeberang Darien Gap rata-rata berjalan 7-15 hari dan menghabiskan biaya 100-1.000 USD per orang atau Rp 1,5 juta-15 jutaan. Mereka juga harus menghadapi penyakit, kekurangan air, tidur, perampokan oleh kelompok bersenjata dan tidak adanya otoritas negara.

Klan Gulf Colombia (Gaitanistas), kartel narkoba dan kelompok neo-paramiliter terbesar di negara itu, telah menjadi pengawas utama jaringan penyelundupan migran yang berkembang pesat dari pihak Kolombia. Mereka berhasil meraup sekitar 57 juta USD dari biaya penyeberangan dalam 10 bulan pertama tahun 2023.

Banyaknya pencari suaka yang lewat membuat masalah baru di Darien Gap, yaitu sampah.

Walaupun tak memiliki otoritas negara, Darien Gap dihuni oleh kelompok suku pedalaman selama berabad-abad yan membuat hutannya terjaga alami. Suku pedalaman Darien Gap mulai resah dengan masalah sampah, karena mengganggu ekosistem dan cara hidup mereka.

“Itu adalah sesuatu yang tidak kami duga, karena migrasi berlangsung dari satu hari ke hari berikutnya dan tiba-tiba kami mendapati diri kami dibanjiri sampah,” kata Yenairo Aji, seorang pemimpin adat dikutip dari The Guardian.

Desa Aji bernama Nueva Vigía, dekat dengan perbatasan utara Darién. Di sana terdapat sekitar 1.400 orang Emberá yang hidup.

“Hal ini mengkhawatirkan karena kita bergantung pada ekosistem lokal untuk segala hal. Ekosistem lokal adalah sumber kehidupan kita.”

Selain mengganggu suku pedalaman, sampah-sampah imigram gelap ini juga berdampak pada hutan, di mana hutan hujan Darien Gap adalah salah satu yang paling terpelihara di dunia.

Karena hutan hujan yang belum tersentuh telah menjadi salah satu rute migrasi terbesar di dunia, sampah-sampah itu menjadi limbah dan kontaminasi yang belum pernah terjadi sebelumnya

Saat hujan turun, tepian Sungai Turquesa yang dulunya berbatu dan bersih di Nueva Vigía kini dipenuhi kaleng minuman, kaus oblong, dan wadah makanan plastik yang dibuang.

“Bensin yang bocor akibat masuknya perahu dan kotoran manusia dari ratusan ribu orang yang melakukan perjalanan telah meracuni sungai yang menjadi sumber kehidupan beberapa masyarakat,” kata Tania Chanapi, seorang pemimpin masyarakat di Nuevo Vigía.

Jenazah mereka yang tidak selamat sering ditemukan membusuk di perairan.

“Sebelumnya, kami menggunakan sungai untuk segala hal: minum, mencuci barang, dan mandi. Sekarang kami tidak dapat melakukan semua itu karena menyebabkan banyak penyakit, seperti diare dan muntah-muntah,” kata Chanapi.

Warga di Nueva Vigía mengatakan mereka harus membeli air minum kemasan karena sungai-sungainya tercemar, dan ikan-ikannya berbau dan berasa seperti bensin.

Sebagian besar keluarga telah berhenti memproduksi bahan makanan pokok seperti pisang, beras, dan jagung, yang dulu menjadi sumber penghidupan mereka, dan lebih memilih bekerja di sektor perdagangan migran.

Ismael Isarama, seorang guru di komunitas Villa Caleta, yang mencatat bahwa beberapa komunitas jauh lebih terdampak oleh krisis lingkungan dibandingkan komunitas lainnya.

“Kami telah kehilangan tradisi mandi di sungai,” katanya, sambil menunjukkan ruam di lengannya, yang menurutnya disebabkan oleh polusi.

Menteri lingkungan hidup Panama yang baru, Juan Carlos Navarro, mengatakan bahwa pemerintahnya telah meminta untuk menggunakan USD 3 juta dari USD 10 juta yang dijanjikan oleh AS untuk mengelola krisis migrasi dan membersihkan hutan.

“Informasi awal yang kami peroleh, termasuk data yang dikumpulkan di lapangan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan teknisi, menunjukkan bahwa kita menghadapi masalah serius berupa polusi plastik, polusi air, kotoran di air, kemungkinan pencemaran sungai dan aliran air yang menjadi sumber air masyarakat setempat, serta banyaknya sampah organik dan anorganik,” kata Navarro.

(bnl/fem)

Membagikan
Exit mobile version