Rabu, September 18

Jakarta

Paparan suara keras seperti sound horeg bisa berdampak buruk pada telinga. Rangkaian sound system berukuran besar ini menggelegar dan bisa mengeluarkan getaran sangat keras.

Seorang warga Pati, Jawa Tengah, viral karena menyiram rombongan karnaval sound horeg lantaran terganggu, mengingat suaranya sampai menggetarkan rumah dan kaca. Dampaknya terhadap pendengaran manusia pun bisa cukup serius.

Hana Arisesa M.Eng, Ketua Kelompok Riset Radio Frekuensi, Microwave, Akustik, dan Photonic, Pusat Riset Telekomunikasi Organisasi Riset Elektronika dan Informatika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan bahwa suara keras bisa membuat sekelilingnya bergetar bahkan berpotensi memecahkan kaca.


“Kaca juga kan sebenarnya gelombang. Secara sederhana, gelombang itu akan merambat. Dan bunyi itu kan getaran yang merambat secara longitudinal (perambatannya arahnya sejajar dengan arah getarnya). Ketika perambatan gelombang bunyi sesuai dengan frekuensi resonansi kaca, akan menyebabkan kaca bergetar,” papar Hana saat dihubungi detikINET, Selasa (20/8/2024).

Jika suaranya cukup kuat, kaca bisa pecah karena getarannya menyebabkan tekanan pada kaca tersebut. Prinsip yang sama, lanjut Hana, bisa terjadi pada gendang telinga manusia. Bayangkan mengerikannya jika yang terjadi pada kaca, terjadi pula pada gendang telinga manusia.

“Manusia itu kan punya selaput gendang telinga. Kalau ngobrol itu normal, tapi kalau ada orang teriak kencang di telinga kita, bisa saja selaput gendangnya pecah karena tidak bisa menanggung kekuatan bunyi yang diterima. Hal yang sama bisa terjadi pada material lain seperti kaca, plastik, dan lain-lain,” ujarnya.

Memang belum ada penelitian yang secara khusus menunjukkan dampak jangka pendek dan jangka panjang dari paparan suara keras pada gendang telinga. Namun yang jelas, terpapar suara keras melebihi normalnya akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi telinga kita.

“Sound horeg intinya kekuatan bunyinya saja sudah sudah lain, sudah tidak normal. Saya belum pernah meneliti secara khusus (dampaknya pada gendang telinga). Namun apakah seketika itu langsung menyebabkan gendang telinga pecah, secara faktanya tidak. Banyak orang yang berada di dekatnya tidak seketika gendang telinganya pecah kan,” ujarnya.

“Tapi seandainya paparan ini terjadi secara sering, terus menerus, sudah lama berada di dekat horeg, telinganya sudah tidak kuat menerima bunyi yang sedemikian besar, boleh jadi akan berdampak ke gendang telinga pecah, yang jelas dampaknya menimbulkan ketidaknyamanan,” imbuhnya.

Sejumlah gejala awal yang mungkin muncul akibat paparan suara berlebihan yang kerap muncul adalah pusing. “Kalau gejala awal yang jelas pusing, tidak nyaman. Kadang-kadang muncul juga ketidaknyamanan seperti mendengung di dalam telinga,” kata Hana.

Jika mengacu pada Kepmenaker No. per-51/ MEN/ 1999, ACGIH, 2008 dan SNI 16-7063-2004 batas toleransi telinga manusia menangkap suara bising adalah 85 desibel selama 8 jam per hari atau 40 jam perminggu. Namun, durasi tersebut dapat menjadi lebih singkat jika volume suara kebisingan lebih besar.

Itu sebabnya, di tempat-tempat tertentu yang terpapar suara keras, orang-orang di area tersebut dan di sekitarnya dilengkapi dengan perlindungan seperti headset untuk menjaga kesehatan telinga mereka.

“Orang yang bekerja di ruangan tertutup di bagian mesin kapal misalnya, ada treatment tertentu memakai headset. Para pekerja yang berhubungan dengan pesawat, pesawat itu kan suaranya juga kencang. Mereka dilengkapi berbagai macam peralatan safety, ada headset, juga ada zona tertentu yang tidak boleh mendekat karena terlalu berbahaya, tidak nyaman bagi pendengaran,” paparnya.

Namun disebutkan Hana, ketidaknyamanan itu sendiri akan berbeda-beda bagi setiap orang. “Bagi yang bergelut atau menyenangi horeg bisa jadi suara keras itu malah senang, sedangkan warga biasa merasa terganggu. Itu yang perlu diperhatikan. Tapi kalau menurut undang-undang sudah ada aturan kebisingan yang diperbolehkan, tinggal bagaimana sikap kita agar tidak terjadi benturan,” ujarnya.

(rns/fay)

Membagikan
Exit mobile version