Selasa, Juni 25


Jakarta

Kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia secara kumulatif tahun ini sudah melampaui total laporan tahun lalu. Nyaris 120 ribu kasus DBD dilaporkan Kementerian Kesehatan RI tercatat hingga minggu ke-22 tahun 2024, sementara sepanjang 2023 ‘hanya’ ada 114 ribu.

Tren yang tidak jauh berbeda terjadi pada laporan kasus kematian DBD. Jumlah pasien meninggal hingga minggu ke-22 di 2024 sebanyak 777, kian mendekati catatan kematian di tahun sebelumnya yakni sekitar 800 kasus.

Meski saat ini kasus sudah mulai menurun di nyaris banyak provinsi, ada kemungkinan peningkatan DBD kembali terjadi pada periode Juli hingga Agustus 2024. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi menilai hal ini berkaitan dengan prediksi kemarau yang semakin panjang hingga waktu tersebut.


“Jadi di sini kami ingin menggambarkan potensi peningkatan kasus mungkin masih terjadi pada saat Juli, Agustus, di mana suhunya itu tinggi, di suhu 25 derajat, 30 derajat Celcius ke atas, frekuensi gigitan nyamuk semakin sering,” jelasnya dalam Temu Media ASEAN Dengue Day, Jumat (14/6/2024).

“Ini hujan pun nggak nentu, yang menurut kami berbahaya, genangan air yang ada ini tidak terganti, kan, sehingga menjadi tempat nyamuk. Walaupun tadi siklus puncak bulannya itu sudah lewat, tapi potensi terjadinya penyebaran demam berdarah tetap terjadi sepanjang cuaca panas,” sambung dia.

Fakta lain juga disebut Imran terkait karakteristik yang kini terus berubah, misalnya dari kemampuan terbang semula berada di 100 hingga 150 meter, menjadi di kisaran 75 meter. Konsekuensinya jelas berdampak pada masyarakat di lokasi padat penduduk.

“Daerah yang padat penduduk ini akan lebih berisiko terhadap potensi penyebaran, di wilayah pedesaan yang antar rumah cukup jauh dia sebenarnya sudah malas menyebarkan ke tempat lain,” sambungnya.

Siklus terjadinya kasus DBD dari tahun ke tahun semakin singkat. Dari semula bisa ‘mewabah’ dalam 10 tahun sekali, kini terjadi dalam tiga tahun bahkan hampir setiap tahun mencatat puncak kasus DBD.

Lagi-lagi hal ini berkaitan dengan krisis iklim, utamanya fenomena El Nino.

“Siklus ini berhubungan dengan fenomena El Nino, cuaca panas, akhir-akhir ini periodenya siklusnya, semakin lama semakin pendek, kalau dulu 10 tahun, kemudian masuk 2020 itu sudah mulai 3 tahunan, karena climate change membuat perubahan cukup drastis. Ini yang perlu diwaspadai,” tandas dia.

Simak Video “Eks Menkes Siti Fadilah Pertanyakan Program Pengendalian DBD dengan Wolbachia
[Gambas:Video 20detik]
(naf/naf)

Membagikan
Exit mobile version