Rabu, Oktober 16


Jakarta

Sebagai kota tujuan urbanisasi, Jakarta memiliki beragam budaya sejak lama. Warga lokal Betawi pun terbiasa dengan kebaruan dan sangat terbuka.

Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi, Beki Mardani, menyampaikan bahwa setidaknya budaya Betawi yang menjunjung toleransi berkontribusi terhadap pola bersosial masyarakat multi etnis di Jakarta. Sehingga, kerukunan itu bisa terjaga.

“Nilai-nilai Betawi itu menyumbang besar bagi Indonesia dengan nilai-nilai tadi yang terbuka, mau menerima. Coba kebayang nggak misalnya ambil contoh (ibu kota) pindah ke IKN itu kan pasti ada gap antara pendatang dan orang sana kan, yang lebih susah lagi nanti ada gap budaya,” kata Beki.


Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi, Beki Mardani (Muhammad Lugas Pribady/detikcom)

Beki menyampaikan bahwa gap budaya itu tak bisa dipandang sebelah mata karena dampaknya bisa sangat berbahaya. Salah satu fakta yang muncul adalah pertikaian antar kelompok pendatang di warga asli di berbagai daerah.

Menurut Beki gap budaya muncul karena perbedaan ekonomi, tetapi dari banyak aspek.

“Di Jakarta terjadi gap itu tapi tidak kentara karena yang menjadi intinya nilai-nilai budaya Betawi itu adalah welcome, toleran, terbuka,” kata Beki.

Beki mengatakan nilai budaya warga Betawi itu menular kepada sebagian pendatang. Sehingga, secara tidak langsung warga pendatang turut menjaga budaya Betawi dan melestarikannya.

Ketua Umum Silat Cingkrik Rawa Belong, Robi Indra, sepakat dengan pendapat Beki. Pria yang akrab disapa Robin itu mengatakan tak hanya orang Betawi yang melestarikan budaya silat Betawi di daerahnya, tetapi warga pendatang yang telah tinggal lama pun pada akhirnya mencintai budaya Betawi.

“Nggak cuma dari sekadar keturunan (Betawi) orang yang tinggal dan memang berdomisili di Jakarta itu bisa dibilang orang Betawi juga. Karena orang yang cinta sama budaya dan mengembangkan budaya tersebut disebut orang Betawi juga, bahkan ada orang Betawi juga yang nggak mengembangkan,” kata Robin.

Masih dalam konteks yang sama yakni keterbukaan, dalam kesempatan berkunjung ke kawasan Zona C di Setu Babakan. Di sana terdapat sebuah pohon matoa yang menjulang tinggi dan tinggal menunggu waktu panen.

Staf Satuan Pelaksana Edukasi, Informasi, dan Pelayanan di Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan (UPKPBB), Jaka Yudha, mengatakan pohon matoa yang berbuah itu memiliki nilai filosofis.

“Itu pohon matoa kan berbuah ya, walaupun cuma satu dan bukan pohon asli Betawi. Bisa diibaratkan tanah Betawi itu cocok buat siapa pun yang datang dan nantinya bakalan berkembang,” ujar Bang Jak itu.

(upd/fem)

Membagikan
Exit mobile version