Sabtu, Desember 6

Jakarta

Upaya China untuk memperlambat degradasi lahan dan perubahan iklim dengan menanam pohon dan memulihkan padang rumput telah mengubah distribusi air di seluruh wilayah negaranya.

Menurut sebuah studi yang diterbitkan 4 Oktober di jurnal Earth’s Future, antara 2001 hingga 2020, perubahan tutupan vegetasi mengurangi jumlah air tawar yang tersedia bagi manusia dan ekosistem di wilayah monsun timur dan wilayah kering barat laut, yang secara bersama-sama mencakup 74% dari luas daratan China.


Selama periode yang sama, ketersediaan air meningkat di wilayah Dataran Tinggi Tibet di China, yang merupakan sisa wilayah daratan, menurut temuan para ilmuwan.

Tiga proses utama yang memindahkan air antara benua-benua Bumi dan atmosfer adalah evaporasi dan transpirasi yang membawa air ke atas, dan presipitasi yang menurunkannya kembali.

Evaporasi menghilangkan air dari permukaan dan tanah, dan transpirasi menghilangkan air yang telah diserap tanaman dari tanah. Secara keseluruhan, proses-proses ini disebut evapotranspirasi, dan hal ini berfluktuasi seiring dengan tutupan tanaman, ketersediaan air, dan jumlah energi Matahari yang mencapai daratan.

“Baik padang rumput maupun hutan umumnya cenderung meningkatkan evapotranspirasi,” kata Arie Staal, asisten profesor ekologi di Utrecht University, dikutip dari Live Science.

“Hal ini terutama terlihat di hutan, karena pohon dapat memiliki akar yang dalam yang mengakses air di saat kering,” sebutnya.

Upaya penanaman pohon terbesar di China adalah program Tembok Hijau Besar di wilayah utara China yang gersang dan semi-gersang. Dimulai pada 1978, Tembok Hijau Besar diciptakan untuk memperlambat perluasan gurun.

Selama lima dekade terakhir, upaya ini telah membantu meningkatkan tutupan hutan dari sekitar 10% wilayah China pada 1949 menjadi lebih dari 25% saat ini.

Tahun lalu, perwakilan pemerintah mengumumkan bahwa China telah selesai mengelilingi gurun terbesarnya dengan vegetasi, tetapi akan terus menanam pohon untuk mengendalikan laju penggurunan.

Proyek penghijauan besar lainnya di China termasuk Program Grain for Green dan Program Perlindungan Hutan Alam, yang keduanya dimulai pada 1999. Program Grain for Green memberi insentif kepada petani untuk mengubah lahan pertanian menjadi hutan dan padang rumput, sementara Program Perlindungan Hutan Alam melarang penebangan di hutan primer dan mendorong penghijauan.

Secara kolektif, inisiatif restorasi ekosistem China menyumbang 25% dari peningkatan bersih luas wilayah hijau global antara tahun 2000 hingga 2017.

Mengubah Siklus Air

Lebih dari itu, penghijauan telah mengubah siklus air di China secara dramatis, meningkatkan evapotranspirasi dan presipitasi.

Untuk menyelidiki dampak ini, para peneliti menggunakan data evapotranspirasi, presipitasi, dan perubahan penggunaan lahan beresolusi tinggi dari berbagai sumber, serta model pelacakan kelembapan atmosfer.

“Hasil penelitian menunjukkan bahwa evapotranspirasi meningkat secara keseluruhan lebih besar daripada presipitasi, yang berarti sebagian air hilang ke atmosfer,” kata Staal.

Namun, tren ini tidak konsisten di seluruh China, karena angin dapat mengangkut air hingga 7.000 kilometer dari sumbernya, yang berarti evapotranspirasi di satu tempat sering kali memengaruhi curah hujan di tempat lain.

Para peneliti menemukan bahwa perluasan hutan di wilayah monsun timur China dan restorasi padang rumput di wilayah lain di China meningkatkan evapotranspirasi, tetapi curah hujan hanya meningkat di wilayah Dataran Tinggi Tibet, sehingga wilayah lain mengalami penurunan ketersediaan air.

“Meskipun siklus air lebih aktif, pada skala lokal, lebih banyak air yang hilang daripada sebelumnya,” kata Staal.

Hal ini memiliki implikasi penting bagi pengelolaan air, karena air di China sudah terdistribusi secara tidak merata. Wilayah utara memiliki sekitar 20% pasokan air China tetapi merupakan rumah bagi 46% populasi dan 60% lahan subur, menurut studi tersebut.

Pemerintah China sedang berupaya mengatasi hal ini. Namun Staal dan peneliti lain berpendapat, langkah-langkah tersebut kemungkinan akan gagal jika redistribusi air akibat penghijauan kembali tidak diperhitungkan. Restorasi ekosistem dan penghijauan di negara lain juga dapat memengaruhi siklus air di sana.

“Dari sudut pandang sumber daya air, kita perlu melihat kasus per kasus apakah perubahan tutupan lahan tertentu bermanfaat atau tidak,” kata Staal.

“Hal itu antara lain bergantung pada seberapa banyak dan di mana air yang masuk ke atmosfer turun kembali sebagai presipitasi,” tutupnya.

(rns/rns)

Share.
Exit mobile version