Kamis, September 19


Jakarta

Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti masih banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang diabaikan pihak kampus, terutama dengan perempuan sebagai mayoritas korban. Peringatan Puan tersebut dinilai harus menjadi catatan pihak perguruan tinggi mengingat pengabaian kasus kekerasan pada perempuan merupakan bentuk pelanggaran hak.

“Saya setuju dengan Ketua DPR RI, Ibu Puan Maharani, bahwa kekerasan seksual di manapun tempatnya, termasuk di kampus, membutuhkan perhatian kita semua. Ini adalah masalah serius yang harus segera diatasi dan menjadi peringatan bagi perguruan tinggi,” ujar Aktivis Perempuan dari Sarinah Institute Luky Sandra Amalia, dalam keterangan tertulis, Selasa (17/9/2024).

Dalam pernyataannya, Puan menyebut banyaknya kasus kekerasan yang terjadi selama ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran dan mekanisme penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Amalia pun sepakat dengan hal tersebut dan menilai harus ada efek jera yang diberikan kepada para pelaku kekerasan seksual agar kasus tersebut tidak kembali terulang.


“Penegakan hukum yang tidak tebang pilih menjadi sangat penting untuk memberi efek jera kepada pelaku kekerasan, apapun latar belakangnya,” sebut Amalia.

Amalia pun mengkritisi penanganan kasus kekerasan seksual di kampus yang kerap kali lamban kendati Indonesia telah memiliki banyak regulasi hukum untuk melindungi masyarakat khususnya perempuan dari tindak kekerasan seksual. Seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang merupakan inisiatif DPR.

“Meskipun kita sudah punya UU TPKS sebagai payung hukum untuk kasus-kasus kekerasan seksual, ternyata masih ada banyak PR yang harus diselesaikan untuk membuat payung hukum tersebut bisa berjalan efektif,” ungkap Amalia.

Amalia mengaku masih ada ketimpangan relasi kuasa yang menyudutkan kaum perempuan. Untuk itu, pesan Puan yang menggarisbawahi tentang relasi kuasa pada kasus-kasus kekerasan seksual di kampus dinilai sangat relevan.

“Apa yang disampaikan Ibu Ketua DPR menjadi dukungan bagi para korban kekerasan seksual, dalam hal ini mayoritas adalah mahasiswi yang kerap kali tidak berani berbicara atau takut mengungkapkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya,” tutur Amalia.

Amalia menambahkan concern Puan Maharani terhadap persoalan ini bisa menjadi pintu masuk bagi DPR untuk mencari jalan keluar terbaik untuk menciptakan zero tolerance terhadap kekerasan seksual. DPR bisa mendorong kementerian/lembaga sebagai mitra-mitra kerjanya untuk meningkatkan program atau perlindungan yang pro terhadap perempuan di kampus.

“Misalnya, DPR bisa menyampaikan kepada eksekutif sebagai mitra kerjanya untuk menambah CCTV di kampus. Di samping untuk meminimalisir kejadian kekerasan seksual, hal ini juga untuk memudahkan korban dalam mengumpulkan bukti untuk memperkuat laporannya kepada aparat hukum,” terang Amalia.

“Jadi seperti yang disampaikan Ibu Ketua DPR, kebijakan kampus harusnya pro terhadap perempuan. Dan jangan takut untuk mengusut kasus kekerasan seksual di lingkungannya karena kampus juga punya tanggung jawab moral mendukung perlindungan dan pemberdayaan terhadap perempuan,” sambungnya.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI (Kemendikbudristek), kekerasan seksual terbanyak terjadi di perguruan tinggi. Data per Juli 2023, terjadi 65 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Sementara itu selama periode 2015-2021, Komnas Perempuan menerima 67 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Dari seluruh laporan tersebut, mayoritasnya atau 35% berasal dari kampus atau perguruan tinggi.

Amalia yang juga berharap DPR mendorong pihak berwajib untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual secara profesional.

“DPR juga perlu mendorong pihak kampus untuk membentuk satgas yang independent yang menyediakan safe space bagi korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya tanpa takut diintervensi maupun justru dituduh sebagai victim blaming,” kata peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tersebut.

Menurut Amalia, hal ini penting sebagai pengawasan terhadap para pendidik di lingkungan kampus. Karena biasanya relasi kuasa yang dilakukan pendidik atau dosen pelaku kekerasan seksual kepada mahasiswi adalah dengan cara mengancam atau mendesak berkaitan dengan nilai atau proses pendidikannya.

Amalia pun sepakat dengan imbauan Puan yang mengingatkan agar perguruan tinggi memainkan perannya yang tak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai penjaga moral dan etika yang memastikan bahwa setiap individu, terutama perempuan, terlindungi dari segala bentuk kekerasan.

“Perguruan tinggi perlu mengadakan pelatihan atau workshop di kampus tentang kekerasan seksual dari berbagai institusi terkait,” kata Amalia.

Sebelumnya, Puan menyoroti penanganan kasus kekerasan seksual di kampus yang masih kurang. Ia meminta pihak kampus lebih meningkatkan kesadaran, terutama saat menangani kasus kekerasan seksual di bawah atapnya sendiri.

“Kampus seharusnya menjadi tempat yang mendukung kebebasan akademis dan memberikan rasa aman bagi seluruh mahasiswa, tanpa terkecuali. Rasa aman itu termasuk memastikan lingkungan perguruan tinggi bebas dari segala bentuk kekerasan, baik fisik, mental, maupun kekerasan seksual,” ujar Puan.

Beberapa waktu terakhir, kasus dugaan kekerasan seksual di sebuah kampus di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tengah menjadi perhatian publik. Berdasarkan informasi, total ada 17 mahasiswi maupun alumni yang diduga menjadi korban pelecehan seksual oknum dosen kampus tersebut.

Hal yang menjadi sorotan adalah karena pihak kampus itu belum memberikan aksi nyata dalam menyelesaikan kasus tersebut. Padahal akibat tindakan pelecehan yang dilakukan oknum dosennya, terdapat mahasiswi yang trauma hingga berhenti kuliah.

“Kita sangat sesalkan apabila kampus melakukan pembiaran terhadap adanya kasus kekerasan seksual. Sebagai pencetak sumber daya manusia unggul, perguruan tinggi seharusnya dapat berkomitmen menunjukkan integritas dan kredibilitasnya terhadap hal-hal yang bertentangan dengan hukum, moral, dan etika,” ucap Puan.

Selain di Yogyakarta, pembiaran kasus dugaan kekerasan seksual juga terjadi di sebuah perguruan tinggi di Gorontalo beberapa waktu lalu. Sebab hingga saat ini, belum ada kelanjutan penanganan kasusnya. Pelaku diduga merupakan petinggi kampus di mana setidaknya ada belasan perempuan yang terdiri dari staf kampus, dosen, hingga mahasiswi menjadi korban.

Puan mengatakan kekerasan seksual yang terjadi di ruang akademis menunjukkan bahwa sistem perlindungan belum cukup efektif dalam mencegah maupun menanggapi kasus-kasus kekerasan berbasis gender mengingat mayoritas korban kekerasan seksual merupakan perempuan.

Menurut Puan, pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat harus bekerja sama dalam menciptakan kebijakan yang melindungi perempuan dan menjamin kampus sebagai ruang yang aman dan adil bagi semua mahasiswa.

“Rendahnya penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus juga menunjukkan kebijakan yang tidak pro-perempuan. Di tengah kemajuan zaman, seharusnya lingkungan pendidikan menjadi garda terdepan sebagai pihak yang mendukung perlindungan dan pemberdayaan perempuan,” tegas Puan.

Puan juga menyoroti vonis terhadap mantan dosen di Bandar Lampung yang terbukti melakukan pemerkosaan atau kekerasan seksual terhadap mahasiswinya. Pelaku divonis hukuman 8,5 tahun penjara atas perbuatan yang dilakukannya serta wajib membayar denda dan restitusi atas tindakannya.

Masih banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi dianggap sebagai betapa kompleks dan mengakarnya masalah ketidaksetaraan gender dalam lingkungan akademis. Menurut Puan, kasus kekerasan seksual tidak hanya menunjukkan kegagalan individu, tetapi juga mencerminkan masalah struktural yang memperkuat kerentanan perempuan di ruang-ruang publik.

“Termasuk di kampus yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan inklusif,” tegas perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.

Puan mengingatkan Indonesia saat ini memiliki banyak regulasi hukum untuk melindungi masyarakat dari tindak kekerasan seksual. Seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang merupakan inisiatif DPR.

Dalam kaitannya dengan lingkungan kampus, Kemdikbudristek juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. Untuk itu, Puan mendorong pihak kampus untuk tidak segan bertindak tegas terhadap kasus kekerasan seksual

“UU TPKS juga menjamin perlindungan terhadap para korban. Karena rata-rata kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan berkaitan dengan relasi kuasa,” tegas Puan.

“Ini yang harus kita putus dengan tindakan tegas,” pungkasnya.

(akn/ega)

Membagikan
Exit mobile version