Jumat, Oktober 11


Jakarta

Tak hanya fokus pada perawatan dan konservasi hewan, Taman Safari juga memanfaatkan AI supaya lebih dekat dengan pengunjung. Serta mereka juga fokus dalam pengolahan sampah.

“Kalau di Taman Safari kami menggunakan AI untuk memastikan profil-profil dari pengunjung seperti apa yang mereka sukai. Jadi kita menawarkan bukan hanya sekedar untuk menjual atau mempromosikan saja, namun juga mengkorelasikan hingga produk kita fit to market,” kata Alexander Zulkarnain, SVP Marketing Taman Safari Indonesia, dalam seminar Indonesia Tourism Outlook (ITO) 2024, Kamis (10/10/2024),

“Dengan teknologi kita bisa mengurangi bahan-bahan printing. Mengenai bahan-bahan printing tadinya kan semuanya brosur-brosur berakhir di tempat sampah. Nah kan jadi kita juga mengurangi seperti itu dengan menggunakan AI hingga bagaimana memaksimalkan kepuasan pengunjung dengan menggunakan teknologi. Jadi kita bisa lebih memahami, mengarahkan dan membaca behavior mereka seperti apa, sehingga mendapatkan hasil yang optimal,” paparnya.


Terkait pengelolaan sampah, Taman Safari sudah memiliki manajemen pengolahan sampah sendiri.

“Sampai sekarang kami menginvestasikan yang sangat besar dengan integrated waste management. Nah gimana kita bisa membuat fasilitas sendiri sehingga kita punya namanya integrited waste management sendiri. Kalau sekian ratus ribu orang datang setiap bulannya dan menghasilkan sampah, itu kan semua akan jadi beban ekonomi dan juga beban lingkungan besar,”

“Sampah yang paling berbahaya itu bukan cuma sampah plastik lho. Sampah organik juga luar biasa berbahaya karena menghasilkan gas Metan, yang bukan cuma bisa meledak, tapi juga bisa bolongin ozon kita,” tambah

Taman Safari pun menyadari pentingnya manajemen sampah ini. Mereka implementasikan ke unit bisnis yang masih belum terjangkau dan bekerjasama dengan platform-platform waste management yang ada di berbagai daerah.

Salah satu sampah organik yang dikelola Taman Safari adalah kotoran gajah. Mereka menyulap kotoran gajah menjadi kertas.

“Gajah itu makannya tuh dua kuintal rumput segar dan sayur-sayuran. Nah ternyata kotorannya itu tidak mudah untuk terserap atau terurai dengan baik di lingkungan, karena terlalu banyak seratnya. Sehingga kami mikir dan mengolahnya menjadi kertas. Dan kertas kita jadikan notebook dan souvenir,” jelas Alexander.

Namun Alexander juga mengatakan bahwa mereka belum bisa memaksimalkan langkah ini.

“Sayangnya masih belum bisa kita maksimalkan secara industrialisasi. Ya karena memang bukan kita tujuan yang ke sana gitu,” katanya.

(sym/wsw)

Membagikan
Exit mobile version