Jumat, Januari 10


Jakarta

Konservasionis bikin terobosan untuk memantau habitat harimau. Mereka bekerja sama dengan NASA, ESA, dan Google Earth Engine.

Pada suatu masa, harimau hidup di seluruh benua Eurasia, dari Laut Kaspia ke timur jauh Rusia, ke selatan hingga ke pulau-pulau Sumatra, Jawa, dan Bali di Indonesia. Itu dulu.

Menyitir CNN, Rabu (27/3/2024), saat ini harimau hanya hidup di 10 negara. Itu jauh lebih kecil ketimbang wilayah jelajah di masa lalu.


Hilangnya habitat harimau masih menjadi ancaman yang konstan. Itulah sebabnya para konservasionis bekerja sama dengan NASA, Badan Antariksa Eropa (ESA), dan Google Earth Engine untuk menciptakan sistem pemantauan real-time baru untuk habitat harimau.

“Disebut TCL 3.0 (Tiger Conservation Landscapes), sistem pemetaan ini memberikan informasi kepada negara-negara sebaran harimau untuk mengidentifikasi area prioritas, dan memantau perubahan habitat dan populasi,” ujar Eric Sanderson, seorang ahli ekologi dan penulis penelitian yang diterbitkan di Frontiers in Conservation Science.

Metode baru pemodelan habitat itu menciptakan peta yang lebih dinamis dan bisa memberikan informasi penting. Sanderson menambahkan bahwa melindungi habitat harimau merupakan kemenangan bagi seluruh ekosistem.

“Bentang alam harimau juga menghasilkan air bersih dan membantu penyerapan karbon,” katanya.

“Mereka mendukung banyak spesies lain, tidak hanya yang dimakan harimau. Dalam hal ini, harimau merupakan pertanda yang sangat baik bagi hubungan kita dengan alam,” dia menambahkan.

Pemetaan waktu nyata

Ini bukanlah upaya pertama yang menggunakan citra satelit untuk memetakan lanskap harimau. Iterasi pertama, yang disebut “analisis unit konservasi harimau” dihasilkan pada akhir 1990-an, dan yang kedua, TCL 2.0, pada tahun 2006.

Peta-peta sebelumnya bersifat statis, tetapi dengan peningkatan teknologi, para konservasionis melihat adanya cara untuk membuat sistem yang real-time.

Pemetaan modern menggunakan sistem informasi geografis, yang dikenal sebagai GIS. Itu adalah teknologi yang menafsirkan dan memvisualisasikan data spasial, seperti bagaimana bentang alam berubah dari waktu ke waktu, kepadatan penduduk, atau jarak antara lokasi yang berbeda.

Satelit menyediakan citra beresolusi tinggi yang konstan, yang digunakan untuk menganalisis lanskap yang sesuai dari luar angkasa. Namun, hal ini tidak menunjukkan apa yang terjadi di bawah kanopi pohon.

Sehingga lapisan data kedua berasal dari “analisis jejak kaki manusia”, data yang dikumpulkan dari survei lapangan mengenai penyebaran wilayah perkotaan dan aktivitas manusia.

Sanderson dan rekan-rekan penulisnya mengumpulkan penelitian selama dua dekade, mengumpulkan 153.000 pengamatan dari lebih dari 500 makalah yang berisi data dari tahun 2001 hingga 2020.

Tidak seperti versi sebelumnya, peta ini dapat diperbarui ketika ada informasi baru yang tersedia. Sebagai contoh, jika seorang peneliti di Assam, India, melakukan survei jumlah harimau di daerah tersebut, mereka dapat membagikan hasil survei tersebut di sistem pemetaan berbasis web, dan menghasilkan versi peta yang baru.

Peta ini sekarang menunjukkan secara rinci perluasan atau kemunduran wilayah harimau, dan di mana saja yang telah disurvei, dan kapan saja, yang secara langsung menyoroti kesenjangan data.

Antara tahun 2001 dan 2020, total luas Lanskap Konservasi Harimau (Tiger Conservation Landscapes atau TCL) menurun 11%. Menurut penelitian tersebut, kehilangan lebih lanjut dapat mengancam populasi yang sudah rentan, yaitu sekitar 3.140 ekor.

Simak Video “Penampakan Harimau Sumatera Hebohkan Pengguna Jalan di Lampung
[Gambas:Video 20detik]
(msl/fem)

Membagikan
Exit mobile version