Sabtu, Oktober 5

Jakarta

Pandemi COVID-19 menciptakan berbagai perubahan signifikan di Bumi. Sebuah studi baru menunjukkan, dampak pandemi global ini rupanya meluas jauh melampaui planet kita.

Para peneliti menemukan bahwa permukaan Bulan mungkin secara tidak langsung terkena dampak dari masa karantina global ini. Studi mereka menyebutkan, suhu malam hari di permukaan Bulan turun secara signifikan selama periode pembatasan ketat selama pandemi pada April hingga Mei 2020.

Ilmuwan meyakini fenomena aneh ini dapat dijelaskan oleh terjadinya penurunan emisi gas rumah kaca secara signifikan selama masa lockdown pandemi. Hal ini akhirnya menyebabkan pendinginan permukaan Bulan.


“Bulan mungkin telah mengalami dampak karantina wilayah akibat COVID-19, yang terlihat sebagai penurunan suhu permukaan Bulan pada malam hari yang tidak normal selama periode tersebut,” kata para peneliti dalam laporan mereka, dikutip dari Daily Mail.

Dua peneliti dari Physical Research Laboratory di Ahmedabad, India, menganalisis suhu permukaan malam hari Bulan di enam lokasi berbeda di sisi dekat Bulan, atau sisi yang selalu menghadap Bumi.

Suhu malam hari di permukaan Bulan turun secara signifikan di enam lokasi berbeda selama periode karantina ketat COVID-19 dari April hingga Mei 2020. Foto: LRO Quickmap

Catatan suhu ini dibuat oleh Lunar Reconnaissance Orbiter (LRO) milik NASA yang diluncurkan pada tahun 2009. LRO dilengkapi dengan instrumen yang menggunakan tujuh kamera inframerah termal untuk mengukur suhu permukaan Bulan.

Tim tersebut mengamati suhu yang tercatat dari tahun 2017 hingga 2023, dan menemukan sesuatu yang aneh dalam data yang diambil antara April hingga Mei 2020.

Di keenam lokasi tersebut, para peneliti menemukan penurunan suhu yang tidak lazim berkisar antara 8-10 derajat Kelvin yang tampaknya sesuai dengan periode lockdown pandemi.

Suhu terendah tercatat di salah satu dari dua lokasi di Oceanus Procellarum, dataran gelap yang luas di sisi dekat Bulan. Di sana, suhu turun hingga 96,2 derajat Kelvin. Sebagai perbandingan, suhu di lokasi ini mencapai 131,7 derajat Kelvin pada tahun 2022.

Para peneliti berhipotesis bahwa pendinginan ini disebabkan oleh penurunan mendadak radiasi yang dipancarkan dari Bumi saat aktivitas manusia terhenti selama karantina. Kondisi ini mengurangi jumlah panas yang keluar dari atmosfer. Temuan ini diterbitkan di jurnal Monthly Notices of the Royal Astronomical Society: Letters.

Karantina Masa Pandemi

Kilas balik masa pandemi, gelombang pertama COVID-19 melanda dunia pada Maret 2020. Saat itu, vaksin belum tersedia. Oleh sebab itu, pemerintah di seluruh dunia mengeluarkan protokol karantina atau lockdown wilayah yang ketat sebagai upaya untuk memperlambat penyebaran virus.

Pada April, sekitar setengah dari populasi global diminta bahkan diperintahkan untuk tetap berada di dalam rumah. Hal ini secara signifikan mengurangi jumlah radiasi terestrial yang dihasilkan di Bumi.

Pasalnya, karantina wilayah mengganggu banyak aktivitas penghasil gas rumah kaca seperti perjalanan, industrialisasi, dan pertambangan.

Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa emisi CO2 global harian turun sekitar 17% pada awal April 2020 dibandingkan dengan tingkat rata-rata tahun 2019.

Saat sinar Matahari mencapai Bumi, sebagian radiasi tersebut diserap oleh permukaan dan atmosfer planet kita. Hal ini menyebabkan Bumi memanas, sehingga menghasilkan radiasi inframerah terestrial atau panas yang terpancar.

Ketika terdapat konsentrasi tinggi gas rumah kaca seperti CO2, uap air, dan metana, gas-gas ini menyerap panas terestrial Bumi dan kemudian memancarkannya kembali ke luar angkasa.

Namun selama masa karantina wilayah, penurunan emisi global menyebabkan berkurangnya tutupan awan dan polutan atmosfer di banyak negara. Oleh karena itu, jumlah panas yang dipancarkan Bumi juga berkurang, demikian para peneliti menjelaskan dalam laporan mereka.

Penurunan suhu yang dideteksi para peneliti di sisi dekat Bulan atau sisi yang selalu menghadap Bumi, menunjukkan bahwa sebagian panas yang dipancarkan planet kita memengaruhi dan menghangatkan permukaan Bulan.

Pemaparan ini kemudian menjelaskan mengapa suhu permukaan Bulan menurun selama periode penurunan emisi gas rumah kaca. Namun para peneliti menyatakan dalam laporan mereka, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menetapkan hubungan konklusif antara kedua fenomena tersebut.

Di sisi lain, penelitian ini setidaknya menunjukkan suhu permukaan Bulan sebagai cara baru untuk mempelajari dampak perubahan iklim terhadap Bumi.

(rns/rns)

Membagikan
Exit mobile version