Kamis, Juli 4


Jakarta

Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) berencana untuk mengusulkan agar Boeing mengaku bersalah atas “penipuan” sehubungan dengan dua kecelakaan pesawat mematikan 737 MAX di 2018-2019 lalu.

Hal ini terjadi saat tuntutan dari keluarga korban kecelakaan itu masih terus berlangsung.

Mengutip Associated Press (AP), Boeing memiliki waktu hingga akhir pekan ini untuk menerima atau menolak tawaran yang diajukan oleh lembaga resmi Washington itu.


Selain mengaku bersalah, tawaran itu juga berisi tentang pemberian izin bagi pemantau independen untuk mengawasi kepatuhan Boeing terhadap undang-undang anti-penipuan.

“Departemen Kehakiman memberi tahu keluarga dari 346 orang yang tewas dalam kecelakaan tahun 2018 dan 2019 tentang tawaran pembelaan selama pertemuan video,” kata satu pengacara mewakili keluarga yang menggugat Boeing, Mark Lindquist, dikutip Senin (1/7/2024).

Akui salah dan hukuman ringan

Meski mendapat penawaran itu, sejumlah anggota keluarga mengaku marah. Pasalnya, mereka lebih puas bila memang Departemen Kehakiman AS langsung mengajukan penuntutan dan tidak memberikan tawaran pengakuan kepada Boeing, yang hanya akan berbuah pada dakwaan tiga tahun.

“Kami kesal. Mereka seharusnya melakukan penuntutan saja. Mereka bilang kita bisa berdebat dengan hakim,” kata warga Massachusetts, yang putrinya, Samya Stumo, berusia 24 tahun, meninggal dalam kecelakaan kedua Boeing 737 MAX, Nadia Milleron.

Perkembangan ini terjadi saat Boeing masih terus didera beberapa skandal dan insiden keselamatan. Kejadian pun terus mewarnai hampir seluruh lini terlaris Boeing, mulai dari pesawat berbadan lebar 777 dan 787 hingga 737 MAX.

Kecelakaan Boeing 737 MAX

Pada 2018, sebuah insiden menimpa pesawat Boeing 737 MAX 8 milik Lion Air berkode penerbangan JT610 yang sedang melayani rute Jakarta-Pangkalpinang. Pesawat tersebut jatuh beberapa saat setelah lepas landas di Laut Jawa, menewaskan seluruhnya 181 penumpang dan 8 kru.

Lima bulan setelah insiden Lion Air, Boeing 737 MAX 8 juga mengalami kecelakaan fatal pada Maret 2019. Pesawat yang jatuh tersebut diketahui milik Ethiopian Airlines berkode penerbangan ET302 yang terbang dari Addis Ababa menuju Nairobi, Kenya.

Pesawat itu diketahui jatuh enam menit setelah lepas landas. Peristiwa ini menewaskan seluruh penumpang dan kru yang ada di dalamnya.

Dalam investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) RI, pilot sempat melaporkan adanya gangguan pada kendali pesawat, indikator ketinggian, dan indikator kecepatan. Kerusakan ini terkait dengan maneuvering characteristic augmentation system (MCAS).

MCAS adalah fitur yang baru ada di Boeing 737 MAX 8 untuk memperbaiki karakteristik anggok pesawat pada kondisi flap up, manual flight dan AOA tinggi.

“Proses investigasi menemukan bahwa desain dan sertifikasi fitur ini tidak memadai. Juga pelatihan dan buku panduan untuk pilot tidak memuat informasi terkait MCAS,” terang KNKT.

Insiden baru pesawat Boeing

Sementara itu, Januari lalu, Boeing 737 MAX kembali diterpa masalah. Sebuah pesawat Alaska Airlines dengan model itu tiba-tiba mengalami ledakan di bagian jendela dan membuat badan pesawat robek di sisi kiri.

Meski begitu, pesawat pun berhasil mendarat dengan selamat setelah adanya ledakan. Tidak ada korban jiwa yang ditimbulkan dari kejadian ini.

Di sisi lain, pekan lalu, Boeing 737 MAX milik Korean Air terjun dari ketinggian 26.900 kaki (7,6 km) hanya dalam waktu 15 menit. Insiden ini mengakibatkan 17 penumpang dirawat di rumah sakit.

Pesawat dengan kode penerbangan KE189 itu terbang dari Seoul, Korea Selatan menuju Taichung, Taiwan. Setelah terbang selama 50 menit, tekanan di kabin pesawat tiba-tiba menurun.

(msl/msl)

Membagikan
Exit mobile version