Sabtu, Februari 22

Jakarta

Layanan broadband wireless access (BWA) berbasis regional bukan hal baru di Indonesia dan itu terbukti gagal sebelumnya. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) akan kembali menghidupkan bisnis BWA tersebut dengan cara yang sama.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, mengatakan rencana lelang frekuensi 1,4 GHz yang menggunakan pendekatan serupa seperti sebelumnya perlu dikaji ulang agar kebijakan serupa di masa lalau tidak terulang.

“Faktanya, hingga kini banyak wilayah yang masih minim akses, meskipun kebijakan BWA berbasis regional telah diterapkan. Jika pemerintah tidak berhati-hati, skema serupa berisiko hanya menguntungkan segelintir pihak tanpa memberikan dampak nyata bagi pemerataan akses internet di Indonesia,” ujar Trubus dalam keterangan tertulisnya, Rabu (19/2/2025).


Menurut Trubus, frekuensi dan jangkauan layanannya merupakan barang publik dan layak jual. Harusnya Komdigi dapat memberikan ruang yang seluas-luasnya agar publik dapat memberikan masukan terhadap regulasi yang nantinya dibuat. Menurutnya, Komdigi di era Presiden Prabowo Subianto harus transparan dan dapat melibatkan dan menerima masukan dari pemangku kepentingan.

Hal yang menarik adalah informasi tentang 1,4 GHz belum pernah dikomunikasikan oleh Komdigi dalam beberapa tahun terakhir, sedangkan belanja modal untuk implementasi 1,4 GHz pasti membutuhkan waktu yang tidak singkat. Ini menimbulkan persepsi jika ada kecenderungan permainan dalam proses konsultasi publik yang sangat tiba-tiba.

Trubus berharap jangan sampai konsultasi publik terkait spektrum tersebut itu setengah hati dan menimbulkan kecurigaan banyak pihak terhadap lelang frekuensi. Menurut Trubus, wajar saja masyarakat curiga dengan waktu konsultasi publik yang singkat tersebut.

Lebih lanjut Trubus, sering kali Komdigi tak melibatkan partisipasi publik yang benar dalam membuat kebijakan. Ia berharap ke depannya Komdigi dapat membuat kebijakan yang melibatkan partisipasi publik dengan benar.

“Selama ini dalam lelang frekuensi selalu ada kaitannya dengan kekuasaan dan keuntungan jangka pendek. Jangan sampai Komdigi membuat kebijakan yang lemah partisipasi publiknya,” kata Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) ini.

Jika ada intervensi, Trubus menduga ada potensi lelang ini akan dimenangkan oleh pihak-pihak yang terafiliasi dengan kekuasaan atau kroni. Atau bisa jadi harga lelang frekuensi ini jadi lebih murah sehingga potensi negara untuk mendapatkan pendapatan dari lelang tersebut menjadi tidak optimal.

Trubus juga meminta Komdigi dapat mengeluarkan kajian dan menjelaskan kepada publik mengenai alasan mereka melelang frekuensi 1,4Ghz untuk layanan BWA dengan jaringan tetap lokal berbasis packet-switched. Ia mengkritisi, jangan sampai ide Komdigi yang ingin adanya BWA lokal dan menyediakan internet murah bagi masyarakat hanya sekadar gimik semata.

“Agar publik tak buruk sangka kepada Komdigi, kajian mengenai BWA lokal 1,4 Ghz harus dibuka ke publik. Sehingga publik dapat melihat manfaatnya dan dapat memberikan masukan ketika ada kekurangan. Indonesia pernah melalukan lelang frekuensi lokal. Dan itu gagal. Jangan sampai Komdigi mengulangi kesalahan serupa. Sebab frekuensi sebagai sumber daya terbatas harus bisa memberikan manfaat besar bagi publik,” kata Trubus.

Trubus menyayangkan langkah Komdigi yang melakukan konsultasi publik tersebut di waktu yang sangat pendek. Sebab pada saat long weekend tak banyak orang yang memperhatikan informasi yang dikeluarkan oleh Komdigi. Menurutnya ini memperlihatkan political will Komdigi dalam melibatkan partisipasi publik dalam membuat regulasi rendah.

Jika nantinya kajian tersebut dibuka dan publik dapat memberikan masukan, Trubus berharap agar Komdigi juga dapat menjaga persaingan usaha industri telekomunikasi nasional. Sebab jika persaingan usaha tak dijaga dengan baik, maka publik juga yang akan dirugikan.

“Namanya kebijakan publik yang punya kebijakan adalah negara. Kemudian negara mempertimbangkan beberapa aspek dalam mengeluarkan kebijakannya. Negara melalui Komdigi dapat mengeluarkan instrument agar publik tidak dirugikan. Tujuannya agar publik mendapatkan manfaat dari kebijakan yang dibuat Komdigi. Selain itu dengan Komdigi melibatkan berbagai kementerian dan lembaga lain dalam lelang frekuensi ini diharapkan dapat mengurangi potensi pengusaha yang hanya mencari keuntungan sesaat,” tutup Trubus.

(agt/fay)

Membagikan
Exit mobile version