Selasa, November 5


Jakarta

Indonesia sejatinya berpotensi jadi produsen sumber energi terbarukan, bioetanol. Bahan bakar alternatif ini juga bisa menjadi solusi dalam mengejar target Net Zero Emission (NZE).

Upaya pemerintah untuk mengakselerasi penggunaan bahan bakar yang lebih hijau ini pun perlu didorong. Tetapi perlu riset lebih mendalam lantaran rantai pasok bioetanol juga dibutuhkan komoditas pangan.

Ditambah lagi penggunaan bahan bakar nabati ini bisa mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil yang mayoritas dari impor. Selain itu, karbon yang dihasilkan dari proses pembuangan kendaraan juga lebih ramah.


Guru Besar Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Deendarlianto menyampaikan bioetanol sudah masuk dalam roadmap NZE pemerintah. Semestinya teknologi ini juga perlu didukung.

“Sebenarnya kita lihat kontribusi, kita mengacu saja roadmap pemerintah kita menuju NZE, datanya menarik ini ya, yang berhubungan dengan sektor transportasi itu ada rencana penggunaan green hidrogen tahun 2031,” kata Deendarlianto saat berbincang dengan detikOto, Kamis (10/10/2024).

“Yang kedua, paling dekat biofuel, untuk sektor transportasi sampai 40 persen. Artinya yang perlu dibangun dari sisi ekonomi, ada aspek supply dan demand,” kata dia.

“Kalau pemerintah mendorong, artinya demand ada, kemudian supply gimana. Imbangkan antara sektor energi dan pangan seperti apa. Ketika berbicara ingin mengkonsumsi solar, biofuel dari sawit, biofuel dari alga,” jelasnya lagi.

Untuk bioetanol, pemerintah perlu belajar banyak hal mulai dari hulu hingga hilirnya, misalnya dari tebu, seperti yang sudah sukses dilakukan di Brazil.

“Kemudian kita ketika mengurangi konsumsi bensin, solusinya etanol, Pertanyaannya bagaimana dengan konstruksi engine kita. Memang Brazil berhasil melaksanakan E100 namun kalau kita lihat sendiri konstruksi engine juga berbeda, pertanyaannya, ini bisa dilakukan industri manufaktur? saya yakin kalau pemerintah mendorong, industri manufaktur berjalan. Kalau aturan ditegakkan baik, market muncul, industri akan muncul ke sana,” kata dia.

Senada dengan hal tersebut, Dr. Alloysius Joko Purwanto, Energy Economist dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) menambahkan bioetanol dan biofuel merupakan transisi energi yang perlu dioptimalkan kendati masih menyimpan pekerjaan rumah, terutama soal ketersediaan bahan bakunya.

Indonesia punya potensi besar jika bisa menguasai bioetanol generasi kedua.

“Bioteanol ini tantangan juga, kita sulit untuk memperoleh bahan baku bioetanol dengan harga memadai. Sekarang di Surabaya, Jawa Timur itu dari molase. Dan itu harganya sangat tinggi, untuk kebutuhan industri mereka akan lebih mampu menyerap dibandingkan kebutuhan transportasi,” kata Joko.

“Indonesia punya potensi, tapi generasi kedua bioetnaol, itu shogum, tandan kosong, palem, gabah tapi masalahnya itu teknologinya belum sampai sana. Engine masih sangat mahal, masih di tahap penelitian. Potensinya besar, dari studi kami ada potensi,” tambahnya lagi.

“Potensinya 30 juta kilo liter, sementara Gasoline kita 35 juta kilo liter, kalau bisa kita tutup dengan generasi kedua itu akan luar biasa,” jelas dia.

(riar/dry)

Membagikan
Exit mobile version