Jumat, November 8


Jakarta

Industri otomotif roda empat Indonesia kerap dibandingkan dengan industri otomotif Thailand. Terbaru, harga mobil di Indonesia diketahui lebih mahal dibandingkan dengan harga mobil di Thailand. Peneliti pun membeberkan cara agar Indonesia bisa menjual mobil dengan harga lebih terjangkau seperti di Thailand.

Seperti diungkapkan akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB), Agus Purwadi, saat ini Indonesia memang masih menjadi raja penjualan mobil di Asia Tenggara, khususnya untuk pasar domestik. Meski begitu, industri otomotif Indonesia masih bisa menjual lebih banyak lagi mobil baru jika ada penyesuaian di perpajakan.

“Sebetulnya kalau in terms of domestic market, no question harusnya kita (lebih) unggul. Harusnya (penjualan mobil kita) bisa di atas sejuta (unit). Syaratnya kita harus buat produk yang bisa terjangkau oleh kita. Makanya industri diminta kompetitif. Tapi di satu sisi, yang mobil itu kan lebih 40% di luar harga mobil kan, nah itu kan masih bisa dielaborasi (instrumen pajaknya). Jadi mobil nggak jadi (mesin) ATM gitu. Harusnya mobil itu alat transportasi. Kalau alatnya makin baik, makin efisien, kan harusnya ekonominya makin kompetitif,” bilang Agus kepada wartawan di arena GIIAS 2024, ICE-BSD City, Tangerang, Kamis (25/7/2024).


Sebagai informasi, harga on the road mobil di Indonesia hampir separuhnya merupakan instrumen pajak. Pajak mobil baru di Indonesia kira-kira 40%, sementara di Thailand 32%. Artinya ada perbedaan pajak sekitar 8%.

Agus menambahkan, instrumen pajak kendaraan di Indonesia terlampau banyak. Ada pajak kendaraan yang masuk ke kas pemerintah daerah, juga ada pajak kendaraan yang masuk ke kas pemerintah pusat. Indonesia bisa menjadikan Thailand sebagai negara acuan dalam menentukan instrumen pajak yang tepat, sehingga bikin harga mobil jadi lebih kompetitif.

“Menurut saya kita benchmarking aja, kenapa dia (Thailand) bisa (menekan harga mobil). Kita lihat, udah terbukti kan, dia ngenain ini berapa, ngenain ini berapa. Masalahnya, di kita itu kendaraan itu jadi income-nya pemda dan income-nya pusat, dengan perpajakan yang banyak strukturnya,” tambah Agus.

Sebelumnya Peneliti Senior LPEM FEB Universitas Indonesia, Riyanto, mengatakan, di Thailand instrumen pajak kendaraannya tak sebanyak di Indonesia. Dia membandingkan bea balik nama kendaraan (BBNKB) yang menjadi sumber pendapatan daerah tidak dipungut saat berada di Thailand. Di Indonesia tarif BBNKB bisa sampai 12,5%.

“Bandingkan kita dengan Thailand itu yang paling berbeda jauh itu BBNKB, sama PPN, kita PPN kita 11%, Thailand 7%,” ujar dia.

Riyanto juga mencontohkan mobil combustion engine harganya bisa selisih Rp 30 jutaan. Misalnya harga mobil sebelum dikenakan pajak Rp 230.433.565 untuk Indonesia dan Thailand, setelah dikenakan pajak menjadi Rp 336.800.000 di Indonesia, sedangkan di Thailand Rp 308.937.529.

“Dari komponen harga, kita lihat, saya bandingkan antara pajak. Harga mobil kita, Thailand itu sebenarnya pasarnya juga stagnan, tapi ekspornya Thailand (yang besar). Produksinya 1,8 juta (mobil), marketnya (domestik) 700 ribu, ekspornya 1,1 juta. Thailand agak stagnan, menurun lebih dalam daripada kita, yang tumbuh di ASEAN itu di Malaysia, kemudian juga Filipina,” jelas Riyanto.

“Di Thailand tidak ada BBNKB, tapi pajak tahunannya itu flat, perbandingannya untuk MPV low setara Veloz itu pajaknya cuma Rp 1,6 juta, kita sudah Rp 3 jutaan kalau tidak salah,” ujar dia.

“Innova itu kira-kira Rp 2,5 juta, fix itu PKB-nya. Tapi kalau kita PKB ranahnya penerimaan daerah yang continue,” tukasnya.

(lua/din)

Membagikan
Exit mobile version