Jumat, Oktober 18


Jakarta

Tak hanya orang dewasa, anak-anak juga termasuk kelompok yang rentan terhadap ancaman gangguan kesehatan dari penyakit menular tuberkulosis atau TBC.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan dr Imran Pambudi, mengatakan kasus TBC pada anak di Indonesia mengalami kenaikan 2,5 kali lipat dibandingkan 2021, yakni dari 42 ribu kasus pada 2021, menjadi 134 ribu kasus di 2023.

“Jadi kalau penemuan kasus secara nasional itu naiknya sekitar 40 persen, tetapi TB anak itu meningkat cukup tinggi. Ini yang perlu kita waspadai, bagaimana kita mewujudkan Indonesia emas 2045 kalau anak-anak kita banyak yang terkena TB. Dari sini terapi pencegahan TBC kita masih rendah, yakni 2,6 persen,” imbuhnya saat konferensi pers, Jumat (22/3/2024).


dr Imran menjelaskan terdapat sejumlah faktor kasus TBC anak di RI meningkat signifikan. Pertama adalah karena menurunnya penemuan kasus pada saat pandemi COVID-19 yang menyebabkan orang sakit TBC belum mendapatkan pengobatan. Walhasil mereka yang mengidap TBC masih bisa menularkan ke orang lain.

“Memang kondisi ini sangat berkaitan adalah anak-anak yang paling rentan untuk bisa tertular penyakit TBC pada orang dewasa yang tinggal di rumah itu,” kata Imran.

“Jadi kalau ada orang tua dan pamannya yang tinggal di situ, kemudian orang tua dan pamannya kena TBC dan belum diobati, maka anaknya paling rentan kena TBC,” sambungnya lagi.

Tak hanya itu, dijelaskan dr Imran, ada juga beberapa faktor yang membuat seseorang lebih mudah terkena TBC. Di Indonesia, paling sering dihubungkan dengan merokok, kurang nutrisi, hingga penyakit penyerta yang dapat menurunkan kekebalan. Misalnya diabetes.

Imran menjelaskan, status gizi anak di Indonesia masih tak terlalu cukup baik, sehingga menyebabkan mereka lebih rentan untuk tertular TBC.

“Ketiga adalah kita sudah melakukan integrasi penemuan kasusnya ini dengan kegiatan yang lain seperti penanganan stunting melalui penimbangan. Jadi pada saat penimbangan di posyandu kalau ada anak dinilai berat badannya tidak mencapai berat badan yang diharapkan, maka kita Fasmaskes akan dilihat penyebabnya apa,” jelasnya.

“Karena mungkin bukan hanya masalah gizi, penyakit TBC pada anak gejalanya bukan batuk. tetapi lebih banyak berat badannya turun, dia nggak mau makan, rewel, kemudian ada pembesaran kelenjar di leher. Jadi bukan batuk,” imbuhnya lagi.

“Akibat dari itu menimbulkan berat badannya turun, jadi pertama kali ditangkap pada saat posyandu, anak-anak yang TB itu berat badannya turun. Sehingga hal-hal itulah yang menyebabkan peningkatan kasusnya tinggi,” tuturnya lagi.

Simak Video “Laporan Kemenkes soal Kasus TBC di Indonesia: Terjadi Lonjakan di 2023
[Gambas:Video 20detik]
(suc/naf)

Membagikan
Exit mobile version