Minggu, Juli 7


Pangkep

Suku Bugis mengenal Bissu sebagai penjaga adat. Mari berkunjung ke Kawasan Adat Segeri, dimana para Bissu tinggal.

Sulawesi Selatan terkenal dengan bentangan alamnya yang sempurna. Tak heran dia dijuluki dengan sebutan THE LAND OF TOMORROW karena keanekaragaman geologi, keanekaragaman hayati, dan keanekaragaman budayanya.

Geopark Maros-Pangkep ini telah dikukuhkan melalui Sidang UNESCO pada 24 Mei 2023 di Paris Prancis dengan status Global Geoparks UNESCO.


Dipengaruhi oleh sebuah novel karangan Pepi Al-Bayqunie berjudul Calabai: Perempuan Dalam Tubuh Lelaki, saya mulai mengumpulkan informasi mengenai budaya dan tradisi yang dilakukan oleh orang Bugis masa lalu.

Beberapa tahun berikutnya saya sudah menjejakkan kaki kawasan yang merupakan situs Geosite Non Geologi ini yaitu Rumah Adat Bissu.

Membutuhkan waktu ±2.5 jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Maros Makassar menuju geosite ini yaitu di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep.

Bertemu dengan Bissue tidak bisa sembarangan. Ibarat bertamu, kita harus permisi dahulu dengan pemilik rumah, apakah berkenan mempersilahkan masuk, atau hanya boleh di luar pagar saja.

Jangan lupa membawa perantara terutama yang dari luar Sulawesi, karena Bissu memakai Bahasa Bugis. Orang Bugis pada masa lampau (Attoriolong) mengenal lima jenis gender yang berbeda; oroane (pria), makkunrai (wanita), calalai (perempuan berpenampilan laki-laki), calabai (laki-laki berpenampilan perempuan), dan bissu.

Bissu adalah kaum pendeta yang tidak mempunyai golongan gender dalam kepercayaan tradisional masyarakat Bugis. Golongan Bissu mengambil peran gender laki-laki dan perempuan.

Mereka dipandang sebagai separuh manusia dan separuh dewa dan berperan sebagai penghubung antara kedua dunia (Graham, Sharyn (2002)).

Kawasan adat bissu terdiri dari rumah adat Bugis bercat coklat yang di dalamnya ada beberapa perlengkapan untuk ritual upacara adat sekaligus bersemayamnya pusaka Arajang yang sakral.

Sore hari, saya diterima Puang Matoa yaitu bissu Nani ditemani 2 bissu lainya, Puang matoa bissu Nani adalah bissu terakhir di Segeri. Beliau menjadi bissu sejak 10 tahun terakhir.

Penampilannya sederhana dengan memakai sorban putih, dengan riasan muka lengkap. Bbissu Nani bergelar Haji. Tutur suaranya halus namun tegas. Tatapan matanya nanar namun menyimpan beban berat.

Sambil sesekali menyeka air mata, bissu Nani mulai menceritakan awal muasalnya beliau menjadi bissu, dimulai beliau mendapatkan panggilan gaib lewat mimpi.

Kemudian melakukan prosesi tirakat yang panjang yang salah satunya adalah dikafani selama 7 hari 7 malam dengan hanya diberi minum air kelapa.

Setelah menjadi bissu, beliau memikul beban berat sebagai penjaga pusaka Arajang sambil juga harus menjalani ritual tiap harinya, seperti mempelajari dan menghafal sureq atau serat La Galigo.

Berdoa, berpakaian sopan, menjaga perilaku, dan senantiasa mensucikan rohani. Khusus untuk menjaga kesucian spiritual, seorang bissu harus bersih alias mati dari hasrat biologis dan seksual.

Pada zaman lalu, bissu berperan sebagai penasehat spiritual di Kerajaan dan menghubungkan Dunia Bawah (manusia) dan Dunia Atas (Dewa).

Karena hanya bissu yang bisa berkomunikasi dengan dewa melalui upacara ritual dan menggunakan bahasa dewa langit (basa Torilangi).

Dalam kosmologi manusia Bugis, ada tiga dunia yaitu Botting Langik (Dunia Atas), Kale Lino (Dunia Tengah), dan Paratiki (Dunia Bawah) dan ketiganya saling berkaitan.

Pada masa sekarang, walau jumlah mereka semakin berkurang, namun generasi bissu di Segeri terus merawatnya dengan penuh suka cita. Sebab, dengan menjadi bissu merka akan menaburkan benih kasih sayang pada alam sekitarnya.

Datanglah pada bulan November ke Segeri. Akan ada upacara adat Mappalili yaitu upacara menyambut musim tanam yang dipimpin para bissu dengan membaca mantra yang disebut dengan Matesu Arajang, memohon restu Dewata di langit.

Menurut para bissu, hanya dengan restu Dewata para petani dan masyarakat dapat memperoleh hasil tanam yang baik. Karena itu, acara Matesu Arajang dipandang sakral dan terus dilestarikan oleh masyarakat Bugis Pangkep hingga detik ini.

(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version