Senin, Januari 6


Jakarta

Kejutan pada awal 2025 saat Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan dengan menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20%. Padahal aturan itu berulang kali digugat tetapi selalu kandas di tangan para hakim konstitusi.

Memangnya apa yang dimaksud dengan presidential threshold 20% itu?

Dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu), disebutkan sebagai berikut:


Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Lantas, sejak kapan gugatan terhadap ambang batas presiden ini dilakukan?

Tercatat, gugatan terhadap Pasal 222 ini sudah dilakukan sejak 2017. Misalnya, lewat perkara nomor 44/PUU-XV/2017. Alasan permohonan adalah Pasal 222 sebagai pintu masuk kartel politik. Selain itu, baik syarat capres/cawapres maupun tata cara pemilihan presiden dalam UUD 1945 tidak mengatur syarat threshold dan UUD 1945 tidak mendelegasikan UU untuk mengatur syarat threshold. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Selanjutnya, gugatan dilakukan lagi lewat perkara Nomor 53/PUU-XV/2017. Alasan pemohon hasil Pileg 2014 sebagai syarat pengajuan capres/cawapres 2019 telah mencampuradukkan suara pemilih. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Masih pada 2017, ada empat gugatan lagi yang ingin menghapus ambang batas presiden ini. Namun semuanya ditolak.

Gugatan terhadap ambang batas presiden ini terus berlanjut pada 2018. Setidaknya ada enam gugatan yang dilayangkan dengan berbagai alasan pemohon. Semua gugatan lagi-lagi ditolak.

Upaya untuk menghapus ambang batas ini diteruskan pada 2020. Salah satu penggugatnya adalah Rizal Ramli. Dia menggugat lewat perkara nomor 74/PUUXVIII/2020, alasan judicial review secara post factum (inconcreto) Pemilihan Presiden 2019 telah menyebabkan hilangnya hak konstitusional (constitutional rights) Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Berkarya, dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) dalam mengusulkan pasangan calon presiden. Hasilnya MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima.

Tak berhenti di situ. Gugatan juga pernah dilakukan pada 2022 lewat perkara nomor 73/PUUXX/2022. Namun MK menolak. MK bahwa menegaskan bahwa ambang batas presiden adalah open legal policy yakni kewenangan pembentuk UU. Kemudian, pada 2023, upaya untuk menghapus ambang batas presiden masih dilakukan. Ada dua gugatan yang dilayangkan ke MK pada 2023. Namun MK kembali menolak gugatan tersebut.

MK Hapus Ambang Presiden

Setelah berkali-kali menolak gugatan terkait penghapusan ambang batas presiden, kini baru MK menerimanya. MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangannya, MK menilai pengusungan pasangan calon berdasarkan ambang batas terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. MK juga menilai besaran ambang batas lebih menguntungkan partai politik yang memiliki kursi di DPR.

“Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest),” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Saldi mengatakan adanya kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pilpres hanya terdapat dua pasangan calon, jika terus mempertahankan ketentuan ambang batas dalam pengusulan pasangan calon. Padahal, menurut dia, pengalaman pilpres dengan dua pasangan calon membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.

“Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal,” ujar dia.

“Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong,” sambungnya.

Saldi menyampaikan, pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diusulkan oleh partai politik, sepanjang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu. Saldi pun menyampaikan, setelah lima kali pilpres digelar, MK telah cukup menyatakan ambang batas sebagai syarat mengusulkan pasangan calon.

“Terlebih terdapat pula fakta lain yang tidak kalah pentingnya, dalam beberapa pemilu presiden dan wakil presiden terdapat dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai pasangan calon presiden dan wakil presiden,” paparnya.

MK lantas menyarankan kepada DPR dan pemerintah dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, untuk memperhatikan jika pengusulan pasangan calon tidak didasari lagi oleh ambang batas. Saldi mengatakan partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon dapat dikenai sanksi larangan ikut serta dalam pilpres berikutnya.

“Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh parti politik atau, gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional,” tuturnya.

“Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu,” imbuh Saldi.

Putusan ini juga diwarnai dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda dari dua hakim. Dua hakim yang berbeda pendapat itu ialah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.

Anwar Usman dan Daniel menilai pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 telah dimohonkan sebanyak 33 kali. Menurutnya, MK telah menegaskan pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian ialah partai politik peserta pemilu, dan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.

(rdp/dhn)

Membagikan
Exit mobile version