Senin, Maret 10


Jakarta

Ketegangan di Timur Tengah meningkat. Iran melancarkan serangan udara ke Israel usai konsulatnya di Damaskus, Suriah diserang.

Sebagai sebuah negara yang terlibat perang, kondisi ekonomi Iran menarik perhatian untuk dikulik. Bagaimana kondisinya?

Dikutip dari laporan World Bank yang diperbaharui pada 20 Oktober 2022, perekonomian Iran ditopang oleh sektor hidrokarbon, pertanian, jasa, serta kehadiran negara di bidang manufaktur dan jasa keuangan.


“Iran menempati peringkat kedua di dunia dalam hal cadangan gas alam dan keempat dalam hal cadangan minyak mentah terbukti,” bunyi laporan tersebut dikutip Minggu (14/4/2024).

Meskipun relatif terdiversifikasi bagi negara pengekspor minyak, aktivitas perekonomian dan pendapatan pemerintah masih bergantung pada pendapatan minyak. Oleh karena itu, bersifat fluktuatif.

Saat ini, rencana pembangunan lima tahun yang baru sedang dipersiapkan. Rencana sebelumnya untuk tahun 2016/17 hingga 2021/22 terdiri dari tiga pilar yakni pengembangan perekonomian yang berketahanan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan peningkatan keunggulan budaya.

Prioritasnya antara lain adalah reformasi badan usaha milik negara dan sektor keuangan dan perbankan, serta alokasi dan pengelolaan pendapatan minyak. Rencana tersebut memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 8%.

Guncangan eksternal, termasuk sanksi dan ketidakstabilan harga komoditas, menyebabkan stagnasi selama satu dekade yang berakhir pada tahun 2019/2020. Kontraksi besar dalam ekspor minyak memberikan tekanan yang signifikan terhadap keuangan pemerintah dan mendorong inflasi hingga lebih dari 40% selama empat tahun berturut-turut.

“Inflasi yang tinggi dan berkelanjutan menyebabkan penurunan daya beli rumah tangga secara signifikan. Pada saat yang sama, penciptaan lapangan kerja tidak cukup untuk menyerap sejumlah besar tenaga kerja muda dan terpelajar yang memasuki pasar tenaga kerja,” bunyi laporan itu lebih lanjut.

Selama dua tahun terakhir, perekonomian Iran mulai pulih yang didukung oleh pemulihan jasa pasca pandemi, peningkatan aktivitas sektor minyak, dan akomodasi kebijakan. Kegiatan ekonomi juga telah disesuaikan dengan sanksi, termasuk melalui depresiasi nilai tukar yang membantu barang-barang perdagangan yang diproduksi di dalam negeri menjadi kompetitif dengan harga internasional.

Penurunan ekspor minyak mendorong tambahan pengolahan minyak mentah dan hidrokarbon yang kemudian diekspor sebagai petrokimia. Di bawah sanksi, perdagangan semakin beralih ke negara-negara tetangga dan Tiongkok. Pertukaran mata uang bilateral, barter, dan saluran pembayaran tidak langsung lainnya semakin banyak digunakan untuk menyelesaikan transaksi internasional karena sebagian besar aset di luar negeri tidak dapat diakses karena sanksi.

Pemerintah memperluas bantuan tunai dan subsidi untuk memitigasi dampak inflasi yang tinggi terhadap kesejahteraan, namun hal ini juga menambah tekanan fiskal karena sebagian besar intervensi tidak tepat sasaran.

Iran menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin intensif, termasuk kekeringan parah yang membatasi produksi pertanian pada saat harga pangan global dan kerawanan pangan sedang meningkat. Meskipun harga minyak yang lebih tinggi akibat pemulihan permintaan global dan perang di Ukraina, telah meningkatkan pendapatan ekspor minyak, harga komoditas lain yang lebih tinggi, termasuk bahan pangan, telah meningkatkan tagihan impor secara signifikan.

Peningkatan ini memberikan tekanan tambahan pada keuangan pemerintah karena subsidi harga pangan langsung mencapai 5% dari PDB bahkan sebelum terjadinya lonjakan harga.

Dalam jangka menengah, pertumbuhan PDB diperkirakan tidak akan terlalu besar jika sanksi ekonomi tetap diterapkan. Permintaan global yang lebih lemah dan persaingan baru dari diskon ekspor minyak Rusia ke Tiongkok diperkirakan akan memoderasi ekspansi sektor minyak Iran.

(acd/das)

Membagikan
Exit mobile version