Jakarta –
Batu di dekat tol Jogja-Solo masih menjadi perdebatan. Disebut warga sebagai patok batas wilayah masa kerajaan Mataram kuno (abad 8-9 M), namun dianggap pegiat sejarah sebagai bagian puncak candi.
“Dari fisiknya lebih mirip sebuah kemuncak, bagian puncak bangunan candi. Cuma herannya kalau ini kemuncak, ini candinya di mana?,” ungkap pegiat sejarah Klaten, Hari Wahyudi kepada detikJateng, Minggu (29/9/2024) siang.
Batu itu ada di wilayah Desa Brangkal, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten. Menurut Hari, saat pemindahan dari tanah lalu dicor dan dipagar, dirinya ikut mendampingi bersama perangkat desa dan Polsek setempat.
“Bentuknya seperti kemuncak candi Gebang dan juga Candi Gedong Songo yang terdiri tiga bagian. Bagian atas silinder, bagian tengah segi delapan dan bagian bawah segi empat dengan ukuran yang berbeda,” papar Hari.
Jika batu disebut lingga patok wilayah, lanjut Hari, hal itu sangat janggal. Sebab, lingga patok hanya terdiri dari dua bagian.
“Kalau lingga patok itu terdiri dari dua bagian, bagian atas silinder dan bagian bawah kubus atau segi empat. Kalau itu (Tugu Manten) kan tidak, jadi lebih menyerupai kemuncak candi,” jelas Hari.
Hari menyatakan, bentuknya tidak mendukung topologi ikonografi sebagai lingga patok. Untuk era masanya memang identik masa abad 8-10 Masehi di zaman Mataram kuno.
“Kalau masanya abad 8-10 Masehi di zaman Mataram kuno. Di Desa Brangkal juga ada beberapa Yoni dan batu-batu,” imbuhnya.
Kasi Pemerintahan Desa Brangkal, Kecamatan Karanganom, Purwanto, mengatakan saat dirinya kecil sering ada semacam sesajen di lokasi.
“Sejarah pastinya kita tidak tahu, mungkin ada mitos. Tapi waktu kecil dulu sering pada naruh sesajen tapi sekarang sudah tidak ada,” katanya kepada detikJateng, Minggu (20/9/2024).
Diberitakan sebelumnya, tugu batu dengan bentuk menyerupai lingga yang berada di Desa Brangkal, Kecamatan Karanganom, Klaten, selamat dari proyek Tol Jogja-Solo. Konon, tugu tersebut merupakan batas wilayah zaman kerajaan Mataram kuno.
“Itu tugu perbatasan Mataram Kuno. Dari dulu ten mriku (di situ) agak miring kemudian diperbaharui oleh pihak desa,” ungkap warga setempat, Mulyono, kepada detikJateng, Kamis (26/9/2024).
Menurut Mulyono, batu tersebut tetap berdiri di pinggir tol lantaran memang sengaja dihindari. Apalagi, tugu tersebut pernah didata oleh petugas purbakala.
Lebih lanjut, Mulyono mengatakan tugu itu tidak digunakan pernah digunakan untuk hal aneh-aneh. Tugu tersebut dirawat warga sekitar lantaran dianggap peninggalan sejarah.
“Ya untuk sejarah, peninggalan priyayi riyin (orang dulu). Panjang cuma sekitar satu meteran, tidak pernah dipindah,” jelas Mulyono yang juga ikut merapikan batu tugu tersebut beberapa tahun lalu.
_________________
Artikel ini telah tayang di detikJateng
(wkn/wkn)