Jakarta –
Bali masuk ke dalam daftar 15 destinasi yang harus dihindari di 2025 oleh Fodor’s. Penilaian itu dinilai sebagai alarm nyaring bagi pariwisata berkelanjutan.
Masuknya Bali dalam Fodor’s No List 2025 memicu keprihatinan di kalangan pemerhati pariwisata. Media panduan perjalanan tersebut menyoroti bahwa destinasi popular seperti Bali kian kehilangan daya tariknya, karena pemerintah lebih memprioritaskan pengalaman pengunjung, ketimbang kesejahteraan masyarakat lokal.
Akibatnya, popularitas yang berlebihan memicu homogenisasi budaya, kenaikan biaya hidup, hingga kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan kembali.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI), Profesor Azril Azahari, menyatakan bahwa paradigma pengelolaan pariwisata harus berubah agar Bali dapat keluar dari daftar ini di masa depan.
“Pemerintah kurang paham bahwa paradigma pariwisata saat ini sudah bergeser termasuk perilaku pengunjung. Saat ini pengunjung lebih membutuhkan keikutsertaan (participatory approach) pada aktivitas pariwisata, sedangkan tempo hari lebih pada profit approach. UN Tourism sudah mengingatkan bahwa pariwisata harus berbasis pada komunitas lokal (community based) agar pariwisata dapat berkeberlanjutan,” ujar Azril kepada detikTravel, Senin (25/11/2024).
Menurut Azril, dampak yang harus dihitung bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga dari sosial-budaya dan ekosistem (lingkungan biotik, lingkungan abiotik dan lingkungan manusia dengan budayanya).
Azril menilai dampak ekosistem itu perlu diperhitungkan, karena sudah menjadi perhatian dunia. Kalau sudah berdampak pada ekosistem dan mempercepat perubahan iklim dengan ozonisasi dan dekarbonisasi maka dunia akan semakin kritis, apalagi sudah dimulai dengan munculnya krisis pangan, dan krisis energi yg mengarah pada krisis ekonomi.
“Apalagi kita kurang, atau mungkin belum, memperhatikan Pengaruh Pengganda (multiplier effect), yaitu pengaruh langsung (direct effect) + pengaruh tidak langsung (indirect effect) + pengaruh ikutan (induced effect), dibagi dengan pengaruh total (total effect),” kata Azril.
Azril menyoroti pentingnya penghitungan daya tampung dan daya dukung fisik (physical carrying capacity) serta kajian time and motion study untuk memastikan pariwisata tidak melebihi kapasitas lingkungan Bali.
Azril Juga mengkritik kebijakan bebas visa yang dianggap memperparah tekanan terhadap ekosistem lokal, serta menyerukan perlunya zonasi wisata agar pengelolaan lebih terkendali.
Sebagai solusi, Azril merekomendasikan pendekatan Community-Based Tourism (CBT) dan model Nucleus Estate Smallholders (NES), atau Perusahaan Inti Rakyat (PIR), yang telah terbukti meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
“Kebijakan yang harus melibatkan masyarakat lokal sebagai pengelola atau pelaksana utama (sebagai plasmanya), sedangkan pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha swasta sebagai penggerak intinya (sebagai inti),” kata Azril.
Model berbasis investor yang sering diterapkan selama ini, menurut Azril, cenderung menyengsarakan masyarakat lokal dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Ia juga menekankan pentingnya menghitung multiplier effect, yakni dampak langsung, tidak langsung.
“Artinya apakah kita sudah memahami sudah berapa jauh dampak dan pengaruhnya dari sektor pariwisata ini, mungkin bukan lagi positif bahkan sudah mengarah negatif,” ia menambahkan.
Masuknya Bali dalam daftar ‘Fodor’s No List 2025‘ harus dilihat sebagai peringatan untuk memperbaiki tata kelola pariwisata. Dengan beralih ke pendekatan berbasis komunitas, memperhatikan keberlanjutan ekosistem, serta melibatkan masyarakat lokal secara aktif, Bali dapat kembali menjadi destinasi unggulan yang tidak hanya menarik wisatawan, tetapi juga memberdayakan penduduk lokal dan melestarikan keindahan alaminya.
(wsw/fem)