Jumat, Oktober 11


Jakarta

Bali disebut mengalami overtourism. Sebagian kecil warga lokal Bali disebut mulai menentang berkembangnya pariwisata Pulau Dewata.

“Jangan bandingkan 10 Bali baru dengan Bali. Di Bali masyarakat sudah mulai, sebagian kecil, baru sebagian kecil, menentang berkembangnya pariwisata di Bali. Sementara itu, di tempat lain bereuforia dengan pariwisata. Artinya, kalau kita ingin mengembangkan pariwisata, kita harus tahu dulu peta destinasi yang akan kita kembangkan,” kata I Nyoman Sunarta, guru besar Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, dalam seminar Indonesia Tourism Outlook (ITO) 2024 di Jakarta, Kamis (10/10/2024) .

Nyoman kemudian menjelaskan definisi overtourism. Dia juga mencontohkan kejadian di akhir tahun 2023 saat Bali mengalami macet parah. hingga wisatawan yang menuju bandara terpaksa menyeret kopernya di tol.


“Kapan sebuah destinasi disebut overtourism? Kalau salah satu terhadap variabel merasa tidak nyaman, pasti over. Saya ambil contoh kalau antara host apakah itu wisatawan atau orang lokalnya, jika tidak nyaman lagi dengan bisnis itu, berarti sudah over. Ada yang keliru di situ,” kata dia.

Nyoman mengatakan bahwa Bali butuh pariwisata regeneratif. Yaitu, wisatawan yang datang membawa dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.

“Pariwisata generatif, dengan semua orang memiliki dampak yang sama. Setiap orang, mulai wisatawan dan setiap warga lokal dan paling penting lagi adalah dampak positifnya terhadap lingkungan di situ. Contohnya wisatawan yang datang ke sana itu bukanlah orang yang berduit, namun dia ahli lingkungan. Dia bisa memberikan pendidikan bagi desa yang memiliki masalah lingkungan. Misalnya, ahli tari mengajarkan tarian, ahli bahasa mengajarkan bahasa kepada warga. Kualitas seperti itu yang perlu dibangun,” kata dia.

Menghadapi masalah overtourism, Nyoman mengatakan destinasi perlu berani membatasi jumlah kunjungan.

“Kita harus berani mengatur jumlah, sehingga kita tahu berapa batas-batas yang bisa masuk ke destinasi kita. Misalnya desa wisata nih, saya ingin desa yang bagus itu jual mahal. Pasti punya pasar,” kata dia.

“Lebih memilih kedatangan 5 juta dan mendapatkan Rp 1 triliun per tahun, atau kedatangan 2,5 juta tapi dapat Rp 1 triliun? Sehingga lingkungan kita tidak rusak. Begitu datang banyak pengunjung itu maka lingkungan kita rusak dan dana untuk memperbaiki lingkungan itu tidak disiapkan,” dia menambahkan.

Dalam kesempatan itu, Nyoman mengakui banyak tantangan yang dihadapi untuk integrasi Blue-Green-Circular Economy (BGCE) di industri pariwisata Indonesia.

“Tantangan kita adalah rendahnya kesadaran pelaku industri dan wisatawan. Juga, butuh biaya yang tinggi untuk infrastruktur ramah lingkungan. Faktor regulasi yang belum memadai dan sulitnya koordinasi lintas sektor juga membuat penerapan wisata yang ramah lingkungan itu sulit,” ujar dia.

(sym/fem)

Membagikan
Exit mobile version