Rabu, Juli 3

Jakarta

Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS) dalam beberapa waktu terakhir menjadi sorotan karena peningkatan kasusnya di Jepang. STSS merupakan sebuah komplikasi langka dan fatal yang terjadi akibat racun dari infeksi ‘bakteri pemakan daging’ streptokokus grup A atau Strep A.

Julukan ‘bakteri pemakan daging’ lebih banyak digunakan orang awam karena pada kondisi lain, infeksi strep A yang sudah parah juga dapat menyebabkan necrotizing fasciitis (NF) atau kerusakan jaringan fascia yang membuat area terinfeksi seakan-akan dimakan bakteri tersebut.

Bakteri Strep A sebenarnya merupakan bakteri ‘umum’ dan bukan baru kali ini ditemukan. Bahkan bakteri ini bisa berada di tubuh, kulit, hingga dalam saluran pernapasan.


Guru Besar Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof dr Amin Soebandrio PhD SpMK menjelaskan bahwa infeksi Strep A sebenarnya tidak serta merta membuat seseorang mengalami STSS. Ia berkata bahwa STSS bisa dicegah apabila infeksi fase awal bisa langsung ditangani dengan cepat.

Prof Amin berpendapat bahwa peningkatan kasus STSS di Jepang dapat disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya adalah seperti pola pekerjaan masyarakat hingga penanganan infeksi Strep A yang tidak baik.

“Ya yang di Jepang sendiri kita belum mendapatkan data yang lengkap. Tentu kita mesti melihat faktor risikonya terjadi luka di kulit ya. Misal pola mereka ada yang kerja di sawah, atau kegiatan sehari-harinya berisiko memunculkan luka hingga infeksi,” kata Prof Amin.

Senada dengan Prof Amin, ahli epidemiologi Dicky Budiman menyebut bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut terkait peningkatan kasus STSS yang terjadi di Jepang. Namun, Dicky menduga hal ini mungkin disebabkan juga oleh mayoritas penduduk Jepang yang sudah masuk kategori lansia dan rentan.

Selain itu ia juga menduga adanya keterkaitan pandemi COVID-19 dengan peningkatan kasus STSS di Jepang. Menurutnya, imunitas yang baik berperan besar dalam pencegahan STSS apabila seseorang terinfeksi Strep A.

“Kemungkinan karena penduduk yang juga lebih tua daripada negara maju lain, termasuk bicara kondisi penyakit kronisnya kemungkinan bisa lebih terdampak mengenai kelompok rawan ini. Adapun penyebab pastinya tentu perlu kajian,” kata Dicky diwawancarai terpisah.

“Salah satu yang harus dikaji juga adalah dampak infeksi COVID yang umumnya pada orang imunitas buruk ya tambah buruk kondisinya sehingga menempatkan orang-orang ini pada situasi sangat rentan,” tambahnya.

NEXT: Kenapa Tidak Ada Warning WHO?

Membagikan
Exit mobile version