Jumat, Januari 10


Jakarta

Bali dihantam masalah bertubi-tubi. Pemerhati pariwisata Azril Azhari meminta pemerintah serius menyediakan obat paling mujarab untuk kesembuhan pulau dewata.

Sejak Desember 2023, bali masuk dalam daftar destinasi wisata dunia yang mengalami overtourism. Belum lama ini, ledakan wisata atau overtourism di pulau dewata juga disorot media asing yang berbasis di Singapura.

Bukti perubahan bentang alam di Pulau Dewata dari hamparan sawah hijau menjadi tanah coklat dan hitam berupa bangunan, juga munculnya turis-turis nakal yang merebut lahan pekerjaan warga lokal menjadi efek yang muncul.


Azril menyebut Bali memang sedang tidak baik-baik saja. Dia membenarkan penilaian media asing itu bahwa Bali overtourim. Mau tidak mau, pemerintah harus mengakui kondisi itu. Kemudian, mencari solusi.

Nah, solusi itu didapatkan dengan mencari akar permasalahan. Azril mengatakan ada yang tidak sinkron antara kebijakan dan keinginan.

Dia mengatakan keinginan pemerintah untuk turut melaksanakan pariwisata berkelanjutan dan mengundang wisatawan berkualitas tidak seiring dengan kebijakan yang diterapkan. Di antaranya, turis asing dimanjakan dengan berbagai kemudahan bebas visa dan penerbangan.

Padahal, ada momentum untuk menyaring wisatawan berkualitas. Yakni, saat pandemi Covid-19.

Ya, wabah itu membuat seluruh dunia mulai menghitung ulang untung rugi wisata kuantitas.

Azril bahkan menjabarkan perubahan paradigma pariwisata (shifting tourism paradigm) dimulai sebelum tahun 1980, yakni era Mass/Quantity Tourism dengan atraksi sun-sand-sea. Kemudian, tahun 1980-2000 adalah Alternative Tourism dengan pendekatan socioculture-smallscale-security).

Memasuki tahun 2000-2019/2020 mulai diperkenalkan Quality Tourism (serenity-spirituality-sustainability) yang disambut baik oleh negara-negara di seluruh dunia.

Paling akhir, tahun 2019/2020-2022 ada masa pandemi Covid-19 yang membuat pergeseran pasar pariwisata dengan memperkenalkan kebersihan sebagai akar pariwisata (safety-sanitation-sustainability). Seluruh dunia kompak menerapkannya.

Setelah pandemi ditandai dengan Customised Tourism atau pariwisata minat khusus (special interest-small in size-safety, security, healthy).

“Saat ini perilaku pengunjung atau visitors behavior cenderung pada minat khusus berupa ecobased tourism, agrobased ourism, seperti subak,” ujar dia.

Tetapi, lanjut dia, justru subak-subak di Bali telah berganti menjadi hotel atau resor. Padahal, luas layanan Subak dengan sistem pengairannya, seperti adanya klian subak, awig-awig dan lain-lain yang menjadi daya tarik Bali selama ini.

Pariwisata Belum Cuan

Azril sekaligus menyebut pariwisata Bali dan Indonesia secara umum tidak dihitung dengan detail. Dia menyebut Indonesia kurang dalam pengolahan data seperti Tourism Carrying Capacity (TCC), Physical Carrying Capacity (PCC) dan pergerakan pengunjungnya (Time & Motion Study). Demikian pula rencana tata ruang dan tata wilayahnya/RTRW (zonasi).

“Target bukan pada jumlah pengunjung (visitors), yaitu wisatawan (tourist) dan pelancong (excurtionist), tapi harus ada data lama tinggal (length of stay), jumlah uang yg dibelanjakan (Spent of money) dan kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja sektor pariwisata,” kata dia.

Prof Azril mengatakan bahwa saat ini Badan Pusat Stastistik (BPS) tidak memiliki data resmi soal pariwisata RI. Data yang ada hanyalah gabungan dari beberapa sektor, misalnya perhotelan, transportasi dan turis. Kategori ini dikumpulkan dan dijadikan sebagai acuan keberhasilan pariwisata.

“Saya sering rapat, katanya pendapatan sudah 10% dari pariwisata itu bohong, katanya penyumbang nomor dua padahal tidak. Pariwisata tidak menjadi unggulan,” kata dia.

Sebagai ahli pariwisata, penghitungan data yang betul harus menggunakan rumus Multuplier Effect of Tourism atau Pengaruh Pengganda dari Sektor Pariwisata. Rumus ini dihitung dengan data Direct Effect (efek langsung) + Indirect Effect (efek tidak langsung) + Induced Effect (efek yang diinduksikan) kemudian dibagi dengan Total Effect.

Selanjutnya adalah kebijakan bebas visa atau VoA (Visa on Arrival).

“Kaji ulang Bebas visa dan Visa on Arrival, hanya berlakukan reciprocal dengan membawa biaya hidup minimal untuk 2-4 minggu, khususnya pengunjung backpacker,” kata dia.

Simak Video “Cara Kemenparekraf Cegah Overtourism saat Digelarnya WWF Bali
[Gambas:Video 20detik]
(bnl/fem)

Membagikan
Exit mobile version