Selasa, Februari 11

Jakarta

Awan debu Sahara yang menyelimuti Eropa pada Maret 2022 mengandung beberapa bahan yang tidak terduga, menurut sebuah studi. Tanda-tanda kimia yang ditemukan konsisten dengan uji coba nuklir Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet pada 1950-an dan 1960-an.

Dipimpin oleh tim dari Paris-Saclay University di Prancis, para peneliti studi tersebut menemukan radioaktivitas. Namun, levelnya berada jauh di bawah tingkat yang dianggap berbahaya, kurang dari dua per seratus ambang batas keselamatan. Meski demikian, ini merupakan pengingat berapa lama dampak nuklir dapat bertahan di lingkungan alam.

Awan debu ini secara teratur bertiup dari Sahara, dan studi sebelumnya mengidentifikasi area di sekitar Reggane di Aljazair sebagai sumber debu yang signifikan. Karena wilayah ini juga merupakan lokasi empat uji coba senjata nuklir Prancis, para peneliti ingin mengamatinya lebih dekat.


“Wilayah Reggane, tempat uji coba nuklir atmosfer pertama Prancis dilakukan pada 1960-an di Aljazair Selatan, terletak di salah satu wilayah sumber debu paling aktif yang bertanggung jawab atas peristiwa debu Sahara besar yang berulang yang mencapai Eropa Barat dan memengaruhi kualitas udara,” tulis para peneliti dalam makalah yang diterbitkan di jurnal Science Advances, dikutip dari Science Alert, Senin (10/2/2025).

“Setelah wabah besar pada Maret 2022, kampanye sains partisipatif warga diluncurkan untuk mempelajari radioaktivitas yang ditimbulkan oleh debu,” kata mereka.

Proyek sains warga tersebut menghasilkan 110 sampel di enam negara, yang kemudian diproses dengan berbagai cara. Tim menganalisis pola angin global, susunan kimia dan mineral debu, serta radioaktivitasnya.

Meskipun debu itu sebagian bersumber dari Aljazair Selatan, tanda radioaktifnya tidak sesuai dengan kekuatan atau komposisi uji coba nuklir Prancis. Sebaliknya, tanda tersebut cocok dengan tanda yang sama yang terlihat di seluruh dunia sebagai akibat dari perlombaan senjata Perang Dingin.

“Tanda-tanda isotop plutonium, sidik jari bom nuklir yang unik, tetap berada dalam kisaran tanda-tanda kejatuhan global yang sebagian besar didominasi oleh uji coba nuklir AS dan bekas Uni Soviet, sangat berbeda dari tanda-tanda kejatuhan Prancis,” tulis para peneliti.

Untuk diketahui, AS dan Soviet menjalankan ratusan uji coba nuklir pada 1950-an hingga 1960-an, di padang pasir, lautan, pulau, dan wilayah liar. Uji coba tersebut merupakan ledakan nuklir terbesar yang pernah terjadi di Bumi.

Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian ini dan banyak penelitian sebelumnya, material yang dimuntahkan dari ledakan tersebut telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke jantung Sahara, dan bagian terdalam lautan.

Meskipun tingkat radioaktivitas dalam kasus ini dianggap aman, penilaian rutin seperti penelitian ini diperlukan untuk memahami dampak yang sedang berlangsung pada atmosfer dan lingkungan.

“Kami menyimpulkan bahwa pasokan debu Sahara yang besar ke Eropa Barat, meskipun jumlahnya mengesankan, berulang, dan meliputi area yang luas termasuk tempat-tempat yang pernah dilakukan uji coba nuklir di masa lalu, tidak menimbulkan risiko bagi kesehatan masyarakat dalam hal paparan radioaktivitas buatan,” tulis para peneliti.

(rns/fay)

Membagikan
Exit mobile version