Rabu, September 18


Jakarta

Istilah ‘tone deaf’ belakangan ini kembali viral di media sosial. Tone deaf digunakan untuk melabeli seseorang yang dianggap tidak peka terhadap isu yang sedang ramai diperbincangkan.

Psikolog klinis Ella Titis Wahyuniansari mengatakan secara harfiah ‘tone deaf’ berarti tuli nada atau dalam dunia musik adalah mereka yang sulit untuk membedakan atau menyanyikan nada secara tepat.

Dalam arti lain, lanjut Ella, tone deaf juga bisa berarti seseorang yang tidak peduli dan tidak ingin mendengar tentang apa yang sedang terjadi di sekitarnya.


“Dia tuh nggak peduli, dia juga tidak mau tahu perasaan orang lain itu gimana,” ujar Ella saat dihubungi detikcom. Kamis (22/8/2024).

“Tone itu memang bentuk perilaku,” sambungnya.

Ella melanjutkan, seseorang yang ‘tone deaf’ memang menutup dirinya untuk orang lain dan tidak peduli dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang di sekitar.

“Jadi dia tidak memperdulikan perasaan orang lain, dia menutup dirinya. Ya saya seperti ini kamu mau terima saya seperti ini, nggak mau terima ya sudah,” katanya.

“Nggak peduli, meskipun orang lain akan tersakiti dengan sikapnya dia,” sambungnya.

Menurut Ella, sikap tone deaf akan bisa saja memicu beberapa gangguan psikis, sehingga hal ini perlu untuk segera disadari dan dicari solusinya. Salah satu caranya adalah dengan mulai membuka diri.

“Kita harus bisa mulai membuka telinga, membuka mata, melatih diri kita bahwa orang lain itu juga punya perasaan. Kita mulai membentuk empati,” katanya.

Selain itu, agar tidak lagi dicap sebagai sosok yang tone deaf, Ella menambahkan seseorang harus bisa menempatkan dirinya bila berada di posisi orang lain.

“Kalau misalnya saya ada di posisi dia, mau nggak sih saya diperlakukan seperti ini, sehingga kita akan bisa berpikir sebelum kita melakukan tindakan,” katanya.

“Jadi kita itu makhluk sosial kita ada empati, kita harus punya empati untuk bersosialisasi,” tutupnya.

(dpy/naf)

Membagikan
Exit mobile version