Selasa, April 1


Jakarta

Penurunan populasi masih menjadi masalah serius di Jepang. Salah satu pemicunya, angka kelahiran yang begitu rendah.

Sebuah survei dilakukan peneliti Nihon University, Suetomi Kaori, dengan melibatkan 4 ribu responden berusia 15-39 tahun di seluruh Jepang. Proses survei dilakukan antara 15-27 Februari 2025.

Tidak hanya soal anak, survei ini juga mempertanyakan soal kondisi ekonomi responden. Sebanyak 27,1 persen responden mengaku tidak dapat berlibur, dan yang menyedihkan sebanyak 11,2 persen responden bahkan tidak bisa membeli makan pada waktu-waktu tertentu.

Dikutip dari Unseen Japan, sebanyak 52 persen pemuda tidak memiliki dan menginginkan anak, 32,1 persen tidak punya anak tapi mau memiliki, dan 14,9 persen memiliki anak.

Kondisi ini tidak lepas dari persoalan ekonomi. Sebanyak 60 persen dari responden yang tidak mau punya anak berpenghasilan di bawah 2,99 juta yen (Rp 329,5 juta) per tahun. Padahal pendapatan rata-rata penduduk Jepang mencapai 4,5 juta yen (Rp 496 juta).

Survei itu juga menanyakan apa yang responden butuhkan dari pemerintah. Jawaban teratas adalah tunjangan keuangan untuk pemuda dengan 61,7 persen. Sebagian dari mereka juga membutuhkan subsidi sewa, diskon utilitas publik, dan subsidi pelatihan kerja.

Dalam survei tersebut, mereka baru mau memiliki anak apabila memiliki keseimbangan kehidupan kerja yang baik, mendapatkan opsi pekerjaan lebih fleksibel, hingga cuti yang lebih mudah. Sebanyak 78,2 persen menginginkan pekerjaan yang seimbang.

Tidak mudah mengambil cuti melahirkan di Jepang. Pria yang mengambil cuti untuk mengasuh anak bisa mendapat pelecehan di tempat kerja, sedangkan wanita bahkan bisa dipecat begitu saja.

Selain itu, kerja berlebihan juga menjadi masalah kronis di Jepang. Tidak hanya mengganggu pengasuhan anak, kematian akibat kerja berlebihan (karoushi) juga sangat tinggi di Jepang.

(avk/up)

Membagikan
Exit mobile version