Rabu, September 18


Jakarta

Inisiatif pemerintah Korea Selatan menggenjot angka kelahiran seperti menemui jalan buntu. Para pembuat kebijakan seperti kesulitan meyakinkan warganya, termasuk generasi muda, untuk berkeluarga.

Angka kelahiran yang terus menerus turun di Negeri Ginseng ini berdampak pada banyak aspek, termasuk perekonomian. Tidak sedikit warga Korsel bahkan yang lebih memilih menginvestasikan uangnya untuk berbelanja kebutuhan tersier, seperti produk fashion, dibandingkan berpikir menabung untuk menikah.

“Hidup cuma sekali. Tidak ada cukup tabungan yang tersisa setuap bulan setiap saya memberi reward untuk diri saya sendiri. Menikah mungkin nanti, yang lebih penting kan bahagia saat ini,” kata Park Yeon (28) kepada Reuters.


Empat dari 10 warga Korea Selatan tidak berniat menikah atau belum memikirkannya, menurut laporan yang dirilis oleh Komite Presiden tentang Masyarakat Lanjut Usia dan Kebijakan Populasi pada hari Kamis.

Komite tersebut mengungkap temuan survei tentang persepsi mengenai pernikahan, kelahiran anak, dan pengasuhan anak, yang menargetkan 2.011 pria dan wanita berusia 25 hingga 49 tahun di seluruh negeri.

Menurut laporan tersebut, 39,1 persen responden berusia antara 25 dan 49 tahun menjawab bahwa mereka tidak ingin menikah atau belum banyak memikirkan pernikahan. Di sisi lain, sekitar 61 persen responden menjawab bahwa mereka bersedia atau berencana untuk menikah.

Mereka yang tidak ingin menikah menyebutkan kekhawatiran tentang beban peran gender, dengan 88,9 persen pria menunjuk pada beban keuangan seperti biaya pernikahan dan perumahan dan 92,6 persen wanita menunjuk pada pekerjaan rumah tangga dan kelahiran anak.

Responden pria dan wanita menyatakan bahwa mereka akan lebih cenderung menikah dan memiliki anak jika kondisi ekonomi membaik, seperti berkurangnya biaya perumahan, kesempatan kerja yang lebih baik, dan terjaminnya work-life balance.

(kna/kna)

Membagikan
Exit mobile version