Minggu, September 22


Jakarta

Produksi di sektor pertanian disebut mengalami penurunan meskipun anggaran ketahanan pangan meningkat. Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Abra Talattov mengatakan dalam dua tahun terakhir, anggaran ketahanan pangan sudah tembus di atas Rp 100 triliun.

Berdasarkan data yang dipaparkan, pada 2022, alokasi anggaran ketahanan pangan mencapai Rp 88,8 triliun. Pada 2024, anggarannya melonjak jadi Rp 114,3 triliun. Total anggaran tersebut sudah termasuk alokasi belanja pemerintah pusat (BPP) dan belanja transfer ke daerah (TKD).

“Anggaran ketahanan pangan yang nilainya sangat besar sekali. Di dua tahun terakhir ini misalnya anggaran ketahanan pangan sudah tembus di atas Rp 100 triliun. Tahun ini dianggarkan Rp 114,3 triliun. Kenapa anggaran yang besar sudah dialokasikan output-nya terhadap sektor pertanian belum juga mampu kita lihat bersama-sama,” Abra dalam acara ‘Penguatan Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan: Pekerjaan Rumah Pemerintah Prabowo-Gibran’ yang disiarkan secara Zoom, Minggu (22/9/2024).


Abra menyebut sebagian besar anggaran tersebut digunakan untuk pembangunan irigasi dan bendungan, serta peningkatan dukungan melalui TKD. Dia juga menyoroti anggaran untuk pupuk subsidi terus meningkat. Namun, belum mampu meningkatkan produktivitas di sektor pertanian.

“Jadi, memang banyak sekali kalau secara infrastruktur fisik pembangunan yang sudah dibangun oleh pemerintah baik itu irigasi, bendungan, kemudian juga bahkan anggaran untuk subsidi pupuk juga alokasinya terus meningkat tetapi tadi lagi-lagi belum mampu meningkatkan produktivitas pertanian di Indonesia,” tambah Abra.

Dia menyebut produktivitas yang belum meningkat ini lantaran imbas dari El Nino. Saat periode El Nino terjadi, luas lahan tanaman padi Indonesia mengalami penurunan. Secara total, penurunan luas lahan tanaman mencapai 30,8% atau sebesar 4,2 juta hektar. Alhasil, pemerintah menaikkan volume kuota impor.

“Ketika terjadi periode El Nino secara rata-rata luas lahan tanaman padi kita memang mengalami penurunan. Secara total bahkan turun 30,8% atau sebesar 4,2 juta hektare yang pada gilirannya juga mengurangi jumlah produksi padi kita di periode 2 tahun terakhir ini,” terangnya.

Hal ini memicu gejolak inflasi pangan yang masih terjadi di 25 provinsi. Meskipun tren inflasi mengalami penurunan, dia menilai inflasi pangan masih sangat tinggi. Menurutnya, persoalan inflasi pangan tidak bisa dianggap sepele karena berkaitan dengan daya beli masyarakat. Dia mengatakan pemerintah harus dapat mengendalikan tingkat inflasi yang terus bergejolak.

“Meskipun inflasi Indonesia secara umum mengalami tren penurunan, tetapi untuk konteks volatile food justru masih sangat tinggi di 2 tahun terakhir. Dan kalau kita lihat sebaran per provinsi masih terdapat 25 provinsi yang mengalami inflasi pangan. Jadi, ini memang tidak bisa dianggap sepele persoalan inflasi pangan meskipun inflasi umumnya mengalami penurunan pemerintah juga harus terus mengendalikan tingkat inflasi untuk komunitas pangan,” terangnya.

(kil/kil)

Membagikan
Exit mobile version