Senin, Mei 13


Cirebon

Zaman dahulu, Alun-Alun Sangkala Buana jadi tempat yang sangat ditakuti oleh warga Cirebon, karena jadi lokasi eksekusi para narapidana. Bagaimana kisahnya?

Alun-Alun Sangkala Buana terletak di depan keraton Kasepuhan Cirebon. Karena letaknya di bagian depan keraton, alun-alun ini sering disebut sebagai Alun-Alun Kasepuhan.

Setelah direnovasi pada tahun 2022, Alun Alun Kasepuhan berubah menjadi lebih ciamik. Di setiap sisi alun-alun terdapat gapura dengan susunan bata merah.


Setiap hari, Alun-Alun Kasepuhan menjadi destinasi favorit warga Cirebon untuk menghabiskan waktu luang. Di Alun-Alun terdapat banyak pedagang dan permainan yang bisa pengunjung nikmati. Hampir setiap waktu, alun-alun Kasepuhan tidak pernah sepi pengunjung.

Namun di balik ramainya Alun-Alun Kasepuhan sekarang, dahulu pada zaman kolonial Hindia Belanda, Alun-Alun Kasepuhan jadi tempat yang ditakuti oleh masyarakat Cirebon.

Hal itu terlihat dalam berita yang ditulis oleh koran Belanda De Avondpost Edisi 5 Juni 1926.

Aan de noordzijde van het plein van Kasepochan te Cheribon, nog geen 20 meters van de straat en bijna recht tegen- over den ingang van den Kraton, zijn twee zware, stevig ingemetselde djati- houten palen, die een hoogte hebben van ongeveer anderhalven meter. Deze palen, waarvoor sommige Cheribonners van inlandsche nationaliteit nog een hei- lige vrees koesteren, waarheen velen elen op den, malem djoemahat” en andere heilige dagen kleine offers brengen, zijn onder het volk bekend onder den naam van,, tiang hoekoem sara’,” tulis koran Avondpost.

Dalam bahasa Indonesia berarti, Di sisi utara Alun-Alun Kasepuhan, kurang dari 20 meter dari jalan raya dan hampir berhadapan langsung dengan pintu masuk Keraton. Terdapat dua tiang kayu jati yang berat dan terbuat dari batu bata, tingginya sekitar satu setengah meter.

Tiang-tiang ini, yang masih ditakutkan oleh sebagian penduduk Cirebon yang berkewarganegaraan asli, dan banyak yang melakukan pengorbanan kecil pada malam jumat dan hari-hari suci lainnya, dikenal di kalangan masyarakat sebagai tiang hukum syariat.

Selanjutnya, dalam koran Belanda yang sama, juga menyebutkan, tentang kondisi tiang yang kayu yang digunakan untuk hukuman bagi masyarakat yang melanggar hukum syariah. Tertulis, meski tiang kayu tersebut sudah lapuk, tetapi karena bahan yang digunakan sangat keras, tiang kayu masih bisa bertahan di tengah angin dan cuaca. Diperkirakan tiang kayu masih dapat bertahan selama beberapa tahun mendatang.

Tidak diketahui secara pasti, sejak kapan tiang-tiang tempat eksekusi narapidana pelanggar hukum syariat berada di alun-alun. Tapi menurut cerita bangsawan keraton Kasepuhan, tiang tersebut diduga, didirikan sejak era Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran.

Diceritakan pula, bagaimana proses eksekusi terpidana berlangsung, yakni dengan diikat tangan dan kaki di salah satu tiang dalam posisi berdiri. Ada pula yang menanggalkan pakaiannya terlebih dahulu, lalu bagian tubuhnya seperti jari dipotong.

Di sampingnya terdapat pejabat dari keraton, yang berdiri di dekat narapidana yang akan dieksekusi. Setelah di eksekusi, luka akibat pemotongan kemudian dioleskan garam dan air asam jawa, oleh pejabat keraton yang ada di dekatnya.

Dalam koran Belanda yang lain, Delf edisi 6-9 -1926 juga disebutkan, pasca Hindia Belanda mulai merampas kekuasaan sultan di Cirebon. Mereka mencoba untuk menghapuskan hukuman mati kepada narapidana, menurut mereka hukuman mati kepada narapidana adalah hal yang kejam dan barbar.

Ketika pemerintah Hindia Belanda akan membangun perumahan di dekat alun-alun. Pemerintah Hindia Belanda memberi kabar kepada sultan Kasepuhan untuk menghilangkan kedua pilar tempat eksekusi.

Sebagian masyarakat ingin tiang itu segera dihilangkan, tapi sebagian masyarakat khususnya penduduk asli, menuntut agar tiang hukum syariat tetap berdiri sampai angin dan cuaca menghancurkannya. Dan tentunya membutuhkan waktu yang lama.

Men heeft deze palen willen doen ver- dwijnen, doch de Inlanders willen van het wegdoen niets weten en eischen, dat ze zullen blijven staan tot weer en wind ze zullen hebben vernietigd. En dat zal nog wel een tijdje duren,” tulis koran Delf edisi 6-9-1926.

Sebagai upaya agar tidak terlihat menakutkan, pemerintah kota Hindia Belanda membersihkan lapangan Kasepuhan dan memasang hamparan bunga di sebelah utara tiang. Sehingga tiang-tiang tersebut terlihat lebih baik.

Kepala Bagian Informasi dan Parawisata Keraton Kasepuhan Cirebon Iman Sugiman membenarkan jika dulu alun-alun pernah menjadi tempat eksekusi bagi para narapidana yang melanggar hukum syariah.

Menurutnya alun-alun sudah ada sejak abad 15. Selain digunakan sebagai tempat eksekusi, alun-alun juga digunakan sebagai tempat latihan prajurit keraton setiap hari sabtu, atau Sabtonan.

“Alun-Alun Sangkala Buana sudah ada sejak abad ke 15. Letaknya berada di depan utara Siti Inggil. Dahulu fungsinya untuk upacara kebesaran dan acara Sabtonan,” tutur Iman belum lama ini.

——-

Artikel ini telah naik di detikJabar.

Simak Video “Jalan Menuju Alun-alun Demak Banjir, Pengendara Pilih Tuntun Motor
[Gambas:Video 20detik]
(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version