Sabtu, Juni 29


Bogor

Para Pedagang Kaki Lima (PKL) ogah direlokasi dari kawasan Puncak ke Rest Area Gunung Mas. Mereka mengeluh sepi dan cuma dapat Rp 50 ribu sehari.

Pemandangan di sepanjang jalanan ke arah Puncak, Bogor tak seperti biasanya. Warung-warung yang sedianya berderet di pinggir jalan hanya menyisakan puing-puing dan tangis para pedagang.

Mereka harus merelakan sumber penghidupan mereka runtuh oleh alat berat karena penggusuran Senin (24/6) lalu. Sudah bertahun-tahun bangunan yang dipakai oleh mereka berdagang saat ini sudah tak tersisa.


Pak Ana jadi satu dari banyaknya pedagang kaki lima (PKL) yang lapaknya digusur, ia menyampaikan kalau berdagang di pinggir Jalan Raya Puncak ini sudah 25 tahun.

“Saya sudah (berjualan) di sini 25 tahun,” kata Ana kepada detikTravel, Selasa (25/6/2024).

Saat detikTravel mendatangi kawasan dekat rest area Gunung Mas, di sepanjang jalan hanya tinggal puing-puing yang tengah dibersihkan oleh pemiliknya, termasuk Pak Ana.

Dirinya mengungkapkan kalau tidak ada pemberitahuan terkait penertiban lapak. Sontak ia pun merasa kaget dengan penggusuran itu.

Penggusuran PKL Puncak Foto: Pradita Utama/detikcom

Ia menyebut jika informasi tentang penggusuran ini tidak sampai ke telinganya. Bila memang akan ada penggusuran ia akan dengan mandiri membereskan lapaknya.

“Nggak ada, iya gak ada pemberitahuan tapi langsung dibongkar. Kalau ada pemberitahuan mah pasti (diberesin),” ungkap dirinya

Di lapak pinggir jalan miliknya ini, Ana mengungkapkan mampu meraih omzet yang cukup besar dan bisa mencapai 700 ribu rupiah per harinya.

Berbeda jika berjualan di dalam rest area Gunung Mas, sebetulnya ia pun telah memiliki kios di dalam rest area. Namun secara omzet sangat jauh berbeda. Inilah yang membuatnya kembali berjualan di pinggir Jalan Raya Puncak.

“Di dalam juga saya ada (kios) cuma kalau di dalam tuh pernah saya sampe sore cuma dapat 10 ribu rupiah sampai 50 ribu rupiah. Kalau di sini satu hari saya bisa dapat 500 ribu sampai 700 ribu,” papar dirinya.

Padahal dagangan yang ia jual di lapak pinggir jalan dengan di dalam rest area tidak ada yang berbeda, ia menjual berbagai macam minuman dan makanan seperti kopi, mie, dan cemilan-cemilan lainnya.

Selain karena omzet berdagang di dalam rest area turun drastis, Ana juga mengeluhkan ukuran kios yang sangat kecil hanya sekitar 2×2 meter persegi saja.

Jika dibandingkan dengan lapak miliknya di pinggir jalan yang berukuran enam meter persegi. Ana memang pedagang yang merupakan warga asli kawasan ini.

Berbeda dengan Ana, Cucu Khodijah merupakan warga asli Cianjur yang berjualan di pinggir Jalan Raya Puncak, ia telah berjualan lebih dari 20 tahun lebih.

Penggusuran PKL PuncakPedagang korban penggusuran PKL Puncak Foto: Pradita Utama/detikcom

Setelah lapaknya dirobohkan, ia mengatakan dengan tegas kalau tidak mau pindah berjualan ke kawasan rest area karena ukurannya yang kecil. Cucu lebih memilih untuk tidak berjualan daripada harus pindah ke rest area Gunung Mas.

“Saya nggak mau kalau pindah ke rest area kan kecil untuk jualannya, kalau kecil mah kan kita juga banyak barangnya. Nggak mau pindah, jualan di situ untuk tamu juga nggak bisa, semua orang yang ada di sini juga nggak mau jualan di rest area. Paling juga dapet 20 ribu, 15 ribu satu hari kalau di sini mah mendingan dapet 300 ribu” kata Cucu.

(wsw/wsw)

Membagikan
Exit mobile version