Selasa, September 24

Jakarta

Pada awal 2000-an, peneliti dari Carnegie Mellon University mengembangkan CAPTCHA untuk mengatasi bot yang memenuhi dunia online. Mulanya, CAPTCHA berisikan distorsi angka dan huruf yang didesain untuk mudah dikenali manusia, namun sulit bagi mesin.

Melansir Cloudflare, lambat laun bot berkembang makin canggih, karena itu CAPTCHA juga melakukan penyesuaian. Akhirnya, muncul lah CAPTCHA berbasis gambar, audio, atau checkbox. Inovasi-inovasi ini bertujuan untuk memperkenalkan unsur-unsur yang familiar bagi manusia, tapi sulit buat bot.

Tapi, bukannya gampang ya, kalau buat sekadar klik ‘I’m not a robot’? Ternyata, yang dinilai sebenarnya bukan klik checkbox itu sendiri, melainkan pergerakan kursor pengguna.


Meskipun gerakan kursor manusia dilakukan dengan menarik garis lurus, manusia tetap bakal memiliki sejumlah keacakan pada tingkat mikroskopis. Dengan kata lain, ada gerakan kecil yang tidak dapat ditiru dengan mudah oleh bot. Jika gerakan kursor mengandung hal ini, maka tes ‘I’m not a robot’ bisa memutuskan penggunanya lolos ujian.

Kalau robot, biasanya mereka akan menarik garis yang lurus. Tidak ada distorsi pada tingkat mikroskopis. Karena itu, mudah sekali untuk mengenali bot melalui ujian ‘I’m not a robot’.

Selain itu, reCAPTCHA juga menilai hal lain seperti cookie yang disimpan oleh browser pada perangkat pengguna dan riwayat perangkat. Tujuannya untuk mengetahui apakah pengguna tersebut kemungkinan adalah bot.

Lebih lanjut, jika pengujian ‘I’m not a robot’ dirasa belum dapat menentukan apakah pengguna tersebut adalah manusia atau bukan, biasanya muncul tantangan tambahan. Misalnya pengujian pengenalan gambar. Namun umumnya, gerakan kursor pengguna, cookie, dan riwayat perangkat sudah cukup untuk jadi pengujian.

Jadi, itulah alasan mengapa robot tidak bisa lolos tes ‘I’m not a robot’. Semoga menjawab rasa penasaranmu ya, detikers.

(ask/fay)

Membagikan
Exit mobile version