Sabtu, Juli 6

Jakarta

Bulan lalu Nvidia sempat menjadi perusahaan paling bernilai di dunia, mengalahkan Microsoft dan Apple. Lonjakan Nvidia dalam setahun terakhir didorong oleh tren kecerdasan buatan (AI) yang sedang ramai, tapi apakah gelembung ini akan bertahan lama?

Nvidia dan Microsoft sama-sama terjun ke dunia AI jauh sebelum AI generatif jadi populer. Microsoft mulai berinvestasi di OpenAI sejak tahun 2019, sementara bos Nvidia Jensen Huang mulai mendorong pengembangan chip AI sejak lama.

Hanya beberapa hari setelah Nvidia menjadi perusahaan terbesar di dunia, valuasi mereka turun hingga USD 500 miliar. Saat ini Nvidia sudah turun ke posisi kedua dengan valuasi USD 3 triliun, tapi posisi mereka masih di atas Apple. Microsoft kembali menduduki posisi puncak dengan valuasi USD 3,4 triliun.


Sejumlah analis menyamakan tren AI dengan gelembung dot.com pada awal tahun 2000. Analis teknologi Paolo Pescatore mengatakan gelembung AI akan pecah ketika salah satu perusahaan raksasa gagal menunjukkan pertumbuhan yang berarti, tapi ia meyakini itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

“Semua orang masih memperebutkan posisi dan semua perusahaan mempertaruhkan strategi mereka pada AI,” kata Pescatore, seperti dikutip dari BBC, Rabu (3/7/2024).

“Semua pemain meningkatkan aktivitas mereka, meningkatkan pembelanjaan, dan mengklaim kesuksesan awal,” sambungnya.

Tapi beberapa investor mulai hati-hati dalam mendekati perusahaan AI. Apalagi produk AI generatif yang ada saat ini banyak diterpa masalah seperti memberikan informasi yang tidak akurat, misinformasi, bias, pelanggaran hak cipta, dan lain-lain.

Ada satu faktor besar yang bisa membuat gelembung AI pecah yaitu faktor lingkungan dan energi. Studi yang dirilis tahun lalu memprediksi industri AI akan mengonsumsi energi setara negara seukuran Belanda pada tahun 2027 jika pertumbuhannya terus berlanjut seperti sekarang.

Kate Crawford, seorang professor dari University of Southern California mengatakan ia sering susah tidur karena mengkhawatirkan jumlah listrik, air, dan energi lainnya yang dibutuhkan untuk mentenagai AI. Dr Sasha Luccioni dari perusahaan AI Hugging Face juga memiliki kekhawatiran yang sama.

“Saat ini energi terbarukan untuk mentenagai AI tidak mencukupi – sebagian besar gelembung (AI) tersebut ditenagai minyak dan gas,” kata Luccioni.

“Sistem AI memberikan tekanan yang besar pada jaringan listrik yang sudah mengalami tekanan yang sangat besar,” sambungnya.

(vmp/fay)

Membagikan
Exit mobile version