Kamis, Maret 13

Jakarta

Perkembangan kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence/AI) diperkirakan akan menjadi salah satu game-changer dalam bisnis berbasis teknologi, dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Saat ini, berdasarkan data dari Oliver Wyman 2023, hanya 13% bisnis di Indonesia yang telah berada pada tahap adopsi AI advanced, lebih dari 80% bisnis telah mulai berinvestasi atau menggunakan AI dalam operasional mereka.

Menurut laporan McKinsey Global Institute (2023), AI diprediksi akan berkontribusi hingga USD 13 triliun terhadap ekonomi dunia pada 2030, setara dengan kenaikan rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) global sebesar 1,2% per tahun. Laporan PwC bahkan menyebutkan bahwa AI dapat memberikan dampak hingga USD 15,7 triliun di tahun yang sama.


Dari kedua prediksi tersebut, World Economic Forum (WEF) menyoroti AI sebagai kekuatan utama di era Revolusi Industri 4.0 yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan pekerjaan baru. Bank Dunia juga menilai AI bermanfaat bagi negara berkembang, karena berpotensi mengurangi kesenjangan digital dan mendorong inovasi di sektor vital seperti pertanian, kesehatan, dan pendidikan.

Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital CELIOS mengatakan bahwa adopsi AI yang tumbuh pesat di sektor finansial dan ekonomi digital menunjukkan bahwa teknologi ini telah menjadi tulang punggung transformasi ekonomi.

“Dengan dukungan strategi pemerintah, kolaborasi industri, serta peningkatan keterampilan tenaga kerja, AI dapat memberdayakan Indonesia menuju pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” ujar Nailul dalam diskusi Forum Wartawan Teknologi (Forwat) di Jakarta.

Nvidia sebagai pelaku industri di bidang AI mengatakan bahwa kedaulatan AI bukan lagi wacana. Disampaikannya, teknologi AI yang cepat, aman, dan mandiri adalah fondasi kedaulatan digital Indonesia.

“Kedaulatan AI artinya kontrol penuh atas data, efisiensi dan akselerasi digital,” kata Adrian Lesmono, Country Lead Business Nvidia.

Penerapan AI di Indonesia perlu disesuaikan dengan prioritas pembangunan nasional. Upaya ini mulai dilakukan, salah satunya melalui pembentukan Kolaborasi Riset & Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (Korika) yang bertujuan menjembatani kesenjangan kolaborasi antara pemerintah, industri, akademisi, dan komunitas publik.

Mengungkapkan potensi AI sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia Foto: Agus Tri Haryanto/detikINET

Sri Safitri, Sekjen Partnership Korika, menuturkan meski berpotensi mendorong transformasi besar, pengembangan AI di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan.

Salah satu tantangan utama adalah ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang masih terbatas. Hingga saat ini, jumlah individu yang memiliki keahlian dalam bidang AI masih sangat sedikit. Bahkan, program studi khusus AI di Indonesia baru dimulai.

“Selain itu, keterbatasan infrastruktur digital juga menjadi hambatan besar. Kemudian, kurangnya pendanaan dan riset & pengembangan (R&D). Dari sisi regulasi, Indonesia juga menghadapi tantangan dalam pengelolaan data dan kebijakan terkait AI. Terakhir, keterbatasan akses terhadap teknologi,” ungkap dia.

Pemerintah berperan strategis dalam mendorong pengembangan AI di tingkat nasional, melalui regulasi yang mengatur AI dan tata kelolanya guna memaksimalkan manfaat besar AI sekaligus meminimalkan risikonya.

Insaf Albert Tarigan, Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan menegaskan, diperlukan penyempurnaan strategi pemanfaatan AI nasional yang dapat berfungsi sebagai blueprint panduan bagi pemerintah dan sektor swasta dalam mengadopsi, mengembangkan, serta mengimplementasikan AI.

“Dengan kebijakan yang tepat, pemerintah dapat memaksimalkan potensi kerja sama dengan mitra global, mencakup transfer teknologi, investasi, dan penelitian bersama. Kolaborasi semacam ini akan mempercepat adopsi teknologi canggih, membuka akses ke sumber daya global, dan memperkuat kedaulatan teknologi Indonesia,” pungkasnya.

(agt/fay)

Membagikan
Exit mobile version